Senin 06 Jan 2025 15:10 WIB

Mengenal Syekh Nuruddin Ar Raniri, Ulama asal India yang Berkiprah di Aceh

Syekh Nuruddin adalah seorang ulama dan penulis yang sangat produktif.

Syekh Nuruddin Ar Raniri (Ilustrasi)
Foto: republika
Syekh Nuruddin Ar Raniri (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Nama Syekh Nuruddin sangat masyhur di kalangan umat Islam. Khususnya, umat Islam di Indonesia.

Ulama serba bisa. Gelar itu layak ditabalkan kepada Syekh Nuruddin Ar-Raniri, seorang ulama besar pada pertengahan abad ke-17 M. Ulama yang berasal dari Gujarat, India, itu memang menguasai beragam ilmu. Selain dikenal sebagai seorang teolog, fakih, penulis, ahli hukum, dan syekh Tarekat Rifaiyah, ia juga bergelar sastrawan dan politikus.

Baca Juga

Syekh Nuruddin amat berjasa dalam mengembangkan ajaran Islam di bumi Melayu. Ia dinilai memiliki peranan penting dalam menghalangi kecenderungan percampuran tradisi lokal ke dalam Islam, tanpa mengabaikan pembawa Islam dari Timur Tengah atau tempat lain. Ia juga menjadi mata rantai yang menggabungkan tradisi Islam di Timur Tengah dan Nusantara.

Ia juga berjasa dalam penyebaran bahasa Melayu di wilayah Asia Tenggara. Karya-karyanya yang juga ditulis dalam bahasa Melayu amat popular dan menjadikan Melayu sebagai bahasa Islam kedua setelah Arab. Bahkan, pada masa tersebut umat Islam mempelajari ilmu agama dengan membaca kitab-kitab berbahasa Melayu.

Syekh Nuruddin berasal dari Gujarat, India. Ia lahir sekitar pertengahan kedua abad ke-16 di Ramir, sekarang bernama Rander, dekat Surat, Gujarat. Sejatinya, ia bernama lengkap Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad bin Hamid ar Raniri al Quraisyi asy-Syafii.

Ilmu-ilmu agama dipelajarinya sejak masih belia di tanah kelahirannya. Ia melanjutkan pendidikannya ke Tarim, Arab bagian selatan. Pada masa itu, Tarim merupakan pusat pendidikan agama Islam. Nuruddin sempat menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah SAW, sebelum kembali ke India pada 1621.

Menurut catatan sejarah, Syekh Nuruddin berguru kepada seorang ulama besar bernama Sayyid Umar Abu Hafs bin Abdullah Basyeiban. Ia terkenal di India dengan nama Sayyid Umar al-Idrus yang membawa tarekat Al-Idrus Baalawi di India. Nuruddin juga telah menerima Tarekat Rifaiyah dan Qodariyah dari gurunya.

Setelah menyelesaikan studinya, ia mengabdikan dirinya sebagai pengajar selama beberapa tahun di India. Ia diangkat menjadi seorang syekh Tarekat Rifaiyah. Setelah diangkat, ia merantau dan menetap di Aceh. Ia tiba di Aceh pada 1937 dan bekerja beberapa tahun di Kesultanan Aceh sebagai penasihat kesultanan hingga 1644. Pada saat itu, Kesultanan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Thani (1636-1641).

Tidak diketahui mengapa Syekh Nuruddin memilih Aceh sebagai tempatnya menetap. Diduga, ia memilih menetap di Aceh karena kesultanan tersebut sedang berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, dan politik kala itu. Aceh juga menjadi pusat studi agama Islam di kawasan Asia Tenggara dan Nusantara, menggantikan Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis.

Ada pula kemungkinan lainnya. Syekh Nuruddin memilih menetap di Aceh karena ingin mengikuti jejak pamanya, Syekh Muhamad Jailani bin Muhammad Hamid ar-Raniri yang lebih dulu tiba di kesultanan bergelar Serambi Makkah itu pada 1588.

Syekh Nuruddin adalah seorang ulama dan penulis yang sangat produktif. Ia mengkritisi ulama pendahulu Aceh, Hamzah Fansuri dan Syamsudin Pasai atas apa yang ia lihat sebagai bidah terhadap ajaran Islam. Ia melihat, tasawuf falsafi yang dibawa Hamzah Fansuri sangat khas dengan doktrin wihdatul wujud.

 

Doktrin itu dinilai Syekh Nuruddin sebagai sinkretisasi dengan ajaran Budha dan Hindu di Jawa sehingga menghasilkan apa yang kini disebut kejawen. Ulama terkemuka itu sempat memerintahkan buku-buku karangan kedua ulama tersebut dibakar. Ia lalu menulis beberapa tulisan yang dia anggap sebagai standar ajaran ortodoks.

Berkat karya-karyanya, Syekh Nuruddin menjadi sufi pertama di Nusantara yang berinisiatif menulis buku pegangan standar tentang kewajiban-kewajiban agama Islam bagi penganutnya. Karya-karyanya itu menjadi pedoman bagi masyarakat Muslim Melayu dalam menerapkan ajaran Islam. Bahkan, hingga hari ini karya-karyanya masih dipakai sebagai pedoman ajaran Islam di beberapa wilayah Melayu di Indonesia.

Syekh Nuruddin banyak menulis kitab-kitab dari berbagai cabang ilmu agama, seperti fikih, hadis, akidah, sejarah, dan filsafat. Yang membuatnya menonjol adalah selalu menyebutkan sumber kutipan untuk memperkuat argumen yang dikemukakannya. Karya terbesarnya dalam ilmu fikih adalah kitab As Sirat al- Mustaqin yang berarti ‘Jalan Lurus‘. Buku ini berisi tentang berbagai masalah ibadah, seperti shalat, puasa, dan zakat.

Kitab lainnya yang popular adalah Bustan as-Salatin (Taman Raja-Raja). Ia mulai menulis pada 1638 di Malaysia berdasarkan sumber-sumber Arab. Buku ini merupakan ensiklopedi yang terdiri dari tujuh volume mengenai sejarah dunia dari penciptaan melalui periode-periode para nabi Islam dan raja-raja Muslim di Timur Tengah dan Malaysia. Tulisan-tulisannya itu telah diterjemahkan ke bahasa selain Indonesia dan memiliki pengaruh cukup besar dalam sastra Melayu.

Hubungan baik Syekh Nuruddin dengan Sultan Iskandar Thani memberinya peluang untuk mengembangkan paham dan ajaran mistik yang dibawanya. Hal ini bertujuan agar ajaran Hamzah Fansuri tidak tersebar. Ia kehilangan pamornya ketika Sultan Iskandar Thani tak lagi menduduki takhta. Ia meninggalkan Aceh pada 1644 dan meninggal di India pada 1658.

sumber : Dok Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement