REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sebuah sesi tanya-jawab keislaman, seorang ulama Mesir Syekh Majdi Ashour ditanya perihal hukum menepati janji untuk menikahi seorang gadis. Si penanya mengaku pernah menjanjikan seorang gadis untuk menikahinya. Namun, belakangan muncul keraguan dalam dirinya. Padahal, perempuan tersebut telah menolak beberapa lamaran yang datang kepadanya karena janji si pria tersebut.
Lelaki itu kemudian bertanya apakah hukum menepati janji seperti ini adalah sebuah kewajiban? Ataukah, hal ini bisa menjadi gugur karena janji menikahi itu hanya diucapkan secara lisan?
Seperti dilansir dari laman Elbalad, mantan penasihat mufti Mesir itu menjawab pertanyaan demikian. Ia mengatakan, para ahli fikih berbeda pendapat mengenai ihwal menepati janji.
Mayoritas fukaha berpandangan, janji mengikat agama, meski tidak mengikat secara hukum peradilan. Maka, makruh jika tidak menepatinya.
Imam al-Ghazali berpendapat bahwa suatu janji mengikat jika dikaitkan dengan sebab yang mutlak, yaitu apakah itu menghasilkan perbuatan bagi yang dijanjikan kepadanya atau tidak.
Mazhab Maliki berpendapat, suatu janji akan mengikat jika dikaitkan dengan suatu alasan karena janji itu masuk ke dalam sesuatu kewajiban. Apalagi, jika kerugian akan menimpa salah satu pihak jika ada yang melanggar janji tersebut.
"Selama gadis ini telah bersumpah kepada Anda berdasarkan janji Anda kepadanya tentang pertunangan dan pernikahan, yang menyebabkan terhambat pernikahan karena janji ini---seperti yang Anda sebutkan---maka Anda harus memenuhi janji ini," ujar Syekh Majdi Ashour menjawab pertanyaan.
"Dan jika Anda meninggalkannya, Anda melewatkan keutamaan memenuhi janji, yang merupakan sebuah karunia besar," sambung ulama tersebut.
Lebih lanjut, Syekh Majdi menyarankan si penanya agar segera memberi tahu si wanita jika memang ia tidak ingin menikahinya.
"Segera beritahu dia agar dia tidak terus ditangguhkan seperti ini," tambahnya.
Jangan ragu menikah