REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Adi bin Hatim adalah kepala suku Thai yang disegani. Dia menerima warisan kepemimpinan dari bapaknya. Sebagaimana kepala suku Arab umumnya waktu itu, Adi menerima seperempat penghasilan kaum sebagai pajak. Hidupnya tanpa gejolak. Kekayaannya melimpah.
Bagaimanapun, dia sangat membenci Rasulullah SAW, padahal belum pernah sekalipun bertemu dengan pembawa risalah Islam itu.
Adi semakin gelisah setelah mendengar kabar pengaruh Rasulullah semakin kuat di jazirah Arabia. Beberapa kepala suku sudah memeluk Islam dan bergabung dengan Madinah. Adi khawatir, kedatangan Rasulullah SAW akan mengancam kepemimpinannya.
Pada suatu hari, hamba sahayanya melaporkan bahwa dia melihat bendera tentara Muhammad di sekeliling perkampungan mereka. Dengan tergesa-gesa, Adi mengumpulkan keluarganya dan segera lari meninggalkan Thai menuju utara, Syam. Namun, saudara perempuannya tertinggal. Dia tidak berani kembali. Dia hanya bisa berharap saudara perempuannya dapat menyusul.
Harapannya terpenuhi. Saudara perempuannya muncul bersama rombongan yang baru datang dari Madinah, sambil marah-marah.
"Engkau tinggalkan kami. Engkau zalim. Istri dan anak-anakmu engkau bawa, tetapi saudara perempuanmu dan yang lainnya engkau tinggalkan," kata dia.
Adi berusaha menenangkan kemarahan saudara perempuannya itu. Setelah itu, perempuan tadi pun bercerita akan kemuliaan Nabi Muhammad.
"Setelah negeri kita diserang, aku dan berapa penduduk lain dibawa ke Madinah," tutur saudara perempuan Adi itu.
"Di sana kami ditawan di dekat masjid. Ketika Rasulullah lewat aku menyapanya. Wahai Rasulullah. Bapakku telah tiada, yang menjaminku telah lenyap. Maka, limpahkanlah karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda."
Rasulullah bertanya, "Siapa yang menjamin engkau?"
Aku menjawab, "Adi bin Hatim."
Rasulullah pun berkata, "Dia lari dari Allah dan Rasul-Nya."
Kemudian, Rasul SAW berlalu. Besoknya, terjadi lagi dialog yang sama.
"Pada hari ketiga," tutur saudari Adi itu, "Rasulullah lewat tetapi aku tidak menyapa beliau lagi, sampai seorang laki-laki--yang kemudian kuketahui adalah Ali bin Abi Thalib--memberi isyarat kepadaku agar menyapa beliau.
Kali ketiga itulah permintaanku dipenuhi. Rasulullah berkata, "Engkau jangan terburu-buru pergi sebelum engkau dapatkan orang yang dapat dipercaya untuk mengantarkanmu."
Setelah mendapatkan orang yang dipercaya, Rasulullah memberiku pakaian, unta untuk kendaraan, dan belanja secukupnya. "Akhirnya dengan rombongan yang dipercaya, aku sampai di sini," tuturnya.
Adi pun disarankan untuk menemui Rasulullah.
"Datangilah segera. Jika dia seorang Nabi, maka yang paling dahulu mendatanginya akan beruntung. Dan jika dia seorang raja, tidak ada hinanya engkau berada di sampingnya. Engkau juga seorang raja."
Akhirnya, setelah mendengarkan uraian saudarinya itu Adi pun pergi ke Madinah. Dia masuk ke majelis Nabi SAW ketika beliau berada di masjid.
Mengetahui yang datang adalah Adi bin Hatim, Rasulullah berdiri menyongsongnya. Menggandeng tangan Adi, membawanya ke rumah beliau. Adi dipersilakan duduk di atas bantal kulit, Sedangkan Rasulullah sendiri duduk di tikar biasa.
Adi berguman, "Ini bukan kebiasaan raja-raja."
Setelah berdialog beberapa saat akhirnya Adi mengucapkan dua kalimah syahadat. Kebenciannya luluh oleh kemuliaan hati Rasulullah SAW.