Sukarno bebas pada Juli 1932. Namun, Belanda kembali menangkapnya pada Agustus 1933. Kali ini, Sukarno diasingan ke Ende. Dalam periode pengasingan itu, Sukarno gemar surat-menyurat dengan Hassan. Belakangan, hasil korespondensi itu dihimpun dalam “Surat-surat dari Endeh” pada buku Di Bawah Bendera Revolusi. Adapun polemik antara Hassan dan Sukarno, terutama ketika masih di Bandung, dibukukan menjadi Islam dan Kebangsaan.
Di Ende, Sukarno begitu antusias mempelajari Islam, bahkan mulai dari hal yang mendasar. Dalam sebuah suratnya kepada Hassan, dia meminta karya-karya ulama Persis itu agar dihadiahkan kepadanya. Melalui pos, sampailah apa-apa yang dimintanya dari Hassan ke Ende.
Dalam suratnya yang lain kepada Hassan, tertanggal 18 Agustus 1936, Sukarno mencurahkan kegelisahannya soal sikap jumud sebagian umat. “[…] Tetapi, apa yang kita ‘cutat’ dari Kalam Allah dan Sunnah Rasul itu? Bukan apinya, bukan nyalanya, bukan flame-nya, tetapi abunya ….”
Dalam suratnya untuk Hassan, Sukarno menyuarakan kekecewaannya terhadap orang-orang Islam yang “sontoloyo”, yakni yang hanya mementingkan aspek permukaan, alih-alih substansi, dalam beragama.
Setelah mempelajari kitab-kitab karya Hassan, Bung Karno kian mantap meyakini bahwa Islam tidak pernah membedakan harkat manusia. “Pengeramatan manusia adalah salah satu sebab yang mematahkan jiwanya suatu agama dan umat, oleh karena pengeramatan manusia itu melanggar Tauhid. Kalau tauhid rapuh, datanglah kebencanaan,” tulis Sukarno.