REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dapat dikatakan, hingga kini belum ada tokoh sekaliber Sukarno di Indonesia. Pengaruhnya begitu kuat dalam menumbuhkan nasionalisme Tanah Air. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk meneguhkan kedaulatan negeri tercinta. Bung Karno muda pernah berguru pada pemimpin Sarekat Islam, HOS Tjokroaminoto. Tak mengherankan bila ia akrab dengan literasi dan wacana keislaman. Selama menjalani masa pengasingan di Ende (1934-1938) dan Bengkulu (1938-1942), “Putra Sang Fajar” menemukan semangat untuk lebih mendalami ajaran dan praksis Islam.
Negarawan Muslim
Bung Karno adalah seorang nasionalis sejati Indonesia. Sebagai seorang Muslim, ia pun meyakini kebenaran mutlak agama Islam. Salah satu prinsipnya ialah tidak memandang adanya pertentangan antara nasionalisme dan agama. Keduanya bisa saling mendukung.
Sebagai bukti, dapat diamati dari momen perumusan dasar negara. Ia berperan kunci dalam mengakomodasi kepentingan umat Islam. Pada Piagam Jakarta 22 Juni 1945, tercantum hasil kompromi Panitia Sembilan yang diketuai Bung Karno, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Sikap terbukanya mempertemukan kesamaan pikiran antara golongan nasionalis ‘sekuler’ dan nasionalis Islam.
Bersuara kritis
Dalam sebuah tulisannya pada 1940, Sukarno melihat adanya gejala kurang baik dari sebagian kaum Muslimin. Dengan nada kecewa, Bung Karno menyebut mereka sebagai umat Islam yang “sontoloyo.” Orang Islam “sontoloyo” cenderung permisif terhadap para pelaku kejahatan yang berdampak sosial, seperti penyebar fitnah atau penyerobot hak-hak kaum fakir miskin dan anak yatim piatu.
Terhadap pihak-pihak itu, orang Islam “sontoloyo” tidak menudingnya telah menyalahi ajaran agama Islam. Adapun kepada orang-orang yang, umpamanya, memakan daging babi—meski hanya sekerat—tudingan yang dialamatkan justru bisa begitu berat. Bahkan, tidak jarang tuduhan tersebut ditambahi pun dengan sebutan "kafir." Singkatnya, bagi Bung Karno, kaum Muslimin yang “sontoloyo” adalah mereka yang hanya mementingkan aspek permukaan, alih-alih substansi, dalam beragama.
Kecintaan terhadap masjid
Bung Karno menaruh perhatian pada pembangunan masjid. Ada banyak masjid yang diinisiasi presiden pertama RI itu. Sebut saja, Masjid Jamik Bengkulu, Masjid Syuhada, Masjid Istiqlal, Masjid Baiturrahman dekat Istana Negara, dan Masjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB).
Melalui arsitektur masjid, ia menyampaikan narasi perjuangan. Masjid Syuhada, misalnya, dinamakan demikian untuk mengenang para pejuang yang gugur di Kota Baru, Yogyakarta. Nama Masjid Istiqlal juga dipilihnya untuk merujuk pada makna ‘merdeka.’
Tak hanya di dalam, melainkan juga luar negeri. Masjid St Petersburg di Rusia merupakan buah diplomasi Bung Karno saat mengunjungi Uni Soviet pada 1956.