REPUBLIKA.CO.ID, Zakat merupakan salah satu bentuk filantropi Islam yang wajib dikeluarkan oleh Muslim yang memenuhi kriteria syariat dan peruntukannya terbatas kepada delapan golongan (asnaf). Meski demikian, adakalanya dana zakat digunakan sebagai dana pembangunan masjid yang notabene tak ada dalam delapan asnaf.
Lantas, bagaimana hukum menggunakan dana zakat untuk membangun masjid? Anggota DSN Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ustadz Oni Sahroni dalam Konsultasi Syariah di Republika mengungkapkan, masjid yang diperuntukkan sebagai tempat ibadah, tempat kegiatan pendidikan, dan kegiatan bermanfaat lainnya, seperti tahsin, tahfiz, majelis taklim, dan sebagainya boleh didanai dari dana zakat karena masuk sebagai golongan fi sabilillah yang ada dalam delapan asnaf.
Ustadz Oni menjelaskan, ada perbedaan pendapat di antara ahli fikih. Mayoritas ahli fikih tidak membolehkan dana zakat disalurkan untuk pembangunan masjid, tetapi sebagian yang lain memperbolehkannya.
Menurut dia, jika menelaah kedua pendapat tersebut beserta alasannya, akan ditemukan benang merah dari sumber perbedaan tersebut, di mana perbedaan didasarkan pada cara pandang atau penafsiran terhadap makna fi sabilillah.
Ahli fikih yang menafsirkan fi sabilillah adalah jihad di medan peperangan, maka berpendapat bahwa dana zakat tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid. Namun, para ahli fikih yang menafsirkan fi sabilillah dengan makna yang lebih luas, maka dana zakat boleh disalurkan untuk pembangunan masjid. Untuk lebih jelasnya, Ustadz Oni menukil pendapat-pendapat dari para fuqaha.
(a) Walaupun berbeda-beda memaknai jihad dalam fi sabilil lah, tetapi mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali sepakat bahwa dana zakat tidak boleh disalurkan untuk pembangunan masjid.
(b) Sedangkan, sebagian ulama seperti Fakhrurazi, al-Imami yah al-Ja'fariyah, Shadiq Hasan Khan berpendapat bahwa fi sabilil lah itu bermakna umum setiap aktivitas kebaikan yang berorientasi i'la kalimatillah (qurbah). Berdasarkan pandangan ini, dana zakat boleh disalurkan untuk pembangunan masjid, madrasah, dan lain nya serta aktivitas lain yang memenuhi hajat asasi masyarakat, se perti beribadah kepada Allah dan mengokohkan keimanan mereka.
Hal ini didasarkan pada lafaz fi sabilillah diawali dengan lafaz fii yang tidak menunjukkan perpindahan kepemilikan. Sehingga, donasi sosial bisa disalurkan kepada lembaga seperti yayasan yang mengelola pembangunan masjid, tidak hanya kepada individu. Sebagaimana fatwa MUI, "Dana zakat atas nama fi sabilillah bo leh ditasharufkan guna keperluan kepentingan umum". (Fatwa MUI tentang Menasharufkan Dana Zakat untuk Kemaslahatan Umum).
(c) Berbeda dengan Lembaga Otoritas Fatwa Negara Mesir yang berpendapat bahwa dana zakat boleh disalur kan untuk pem ba ngunan masjid dengan syarat dilakukan dengan niat tabarru' (sedekah) untuk pihak yang membutuhkan akan masjid tersebut. Maksudnya, masjid tersebut benar-benar dibutuhkan karena masyarakat tidak memiliki masjid atau masjid tersebut tidak me nampung jamaah di masyakarat tersebut. (Fatwa Nomor 1-311).
(d) Walaupun masjid boleh dibangun dari alokasi dana zakat, tetapi menurut Ustadz Oni, harus mempertimbangkan aspek prioritas dalam penyaluran zakat. Zakat diprioritaskan disalurkan untuk para dhuafa (fakir dan miskin).
Berdasarkan kaidah tersebut, Ustadz Oni berpendapat, fakir dan miskin harus mendapatkan proporsi terbesar dari total dana zakat yang dihimpun. Masjid boleh dibangun dari dana zakat selama kebutuhan darurat para dhuafa itu secara umum terpenuhi dan masjid yang dibangun dari dana zakat itu adalah masjid yang dibutuhkan oleh masya rakat tidak hanya untuk kebutuhan shalat, tetapi juga untuk kebutuhan pendidikan dan sarana edukasi lainnya.