Jumat 07 Nov 2025 18:26 WIB

Meneladani Rasulullah Lewat Kepekaan Hati

keteladanan Rasulullah dihadirkan dalam sikap kecil yang menghangatkan hati sesama.

Guru Besar UIN Jakarta Prof Tholabi Kharlie
Foto: Dokpri
Guru Besar UIN Jakarta Prof Tholabi Kharlie

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suasana Masjid Al-Mujahidin Pamulang pada Jumat (7/11) siang itu terasa hangat dan khidmat. Jamaah memenuhi ruang utama hingga serambi. Khatib, Prof. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, mengangkat tema yang sederhana namun menggugah: Jabrul Khathir, kepekaan terhadap perasaan orang lain. Sebuah nilai yang kerap terabaikan di tengah kehidupan sosial yang makin individualistis.

Dalam khotbahnya, Prof. Tholabi menjelaskan bahwa Jabrul Khathir berarti menghibur dan membahagiakan hati sesama, terutama mereka yang sedang terluka atau terpinggirkan. Konsep ini bukan sekadar tindakan baik biasa, melainkan sebuah anjuran kuat yang dianggap sebagai ibadah berpahala tinggi. Tujuannya adalah untuk menghibur, meringankan beban psikologis, dan mengembalikan senyum atau harapan bagi mereka yang membutuhkan dukungan emosional.

Baca Juga

Penerapan jabrul khathir sangat luas dalam kehidupan sehari-hari, mencakup berbagai bentuk interaksi sosial. Ini bisa berupa ucapan yang menenangkan, senyuman tulus, bantuan finansial untuk meringankan kerugian, atau bahkan sekadar kehadiran fisik untuk menunjukkan empati dan solidaritas. Prinsip utamanya adalah melakukan sesuatu yang dapat memperbaiki suasana hati atau kondisi mental seseorang yang sedang terpuruk, sehingga mereka merasa dihargai dan tidak sendirian dalam menghadapi masalah.

Dalam konteks hukum Islam (fikih), tindakan jabrul khathir sering kali dikaitkan dengan anjuran untuk bersikap dermawan dan berempati, misalnya dalam transaksi jual beli di mana penjual dianjurkan untuk memberikan keringanan kepada pembeli yang kesulitan membayar, atau dalam memberikan santunan kepada anak yatim dan fakir miskin.

Esensi dari jabrul khathir adalah menempatkan empati di atas segalanya, menunjukkan bahwa kepedulian terhadap perasaan sesama manusia adalah bagian fundamental dari ajaran Islam.

Ia menegaskan, sifat ini merupakan bagian dari akhlak agung Rasulullah Saw. yang patut diteladani setiap Muslim. “Kepekaan hati adalah bagian dari ibadah sosial. Nabi tidak hanya mengajarkan ibadah ritual, tetapi juga membangun relasi kasih dengan sesama,” ujarnya.

Khotib kemudian menuturkan kisah sahabat Zahir bin Haram, seorang Badui sederhana yang dikenal Rasulullah dengan penuh keakraban. Ketika Zahir merasa minder karena penampilannya, Nabi justru memeluknya sambil bersabda bahwa dirinya “menyukai Zahir.”

Bagi Prof. Tholabi, kisah ini menampilkan wajah kemanusiaan Islam yang lembut dan menyentuh. “Islam menumbuhkan empati, bukan menghakimi," imbuhnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement