REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Makkah pada masa awal kenabian Rasulullah SAW bukan tempat yang aman bagi kaum Muslimin. Keadaan umat Islam saat itu begitu lemah, baik dari segi sosial, politik, maupun ekonomi. Banyak orang Islam, terutama dari kalangan miskin atau budak, yang disiksa para elite Quraisy hanya karena mereka teguh dalam iman tauhid.
Rasulullah SAW juga kerap mendapatkan cercaan dan bahkan persekusi. Berkali-kali beliau menjadi sasaran kebencian. Salah satunya datang dari seorang pemuda terkemuka dari suku Quraisy, Fudhalah bin Umair.
Fudhalah bin Umair sangat membenci Rasulullah SAW. Bahkan, pemuda itu ingin membunuh sang pembawa risalah Islam itu. Setelah ditunggu lama, kesempatan untuk melampiaskan amarah pun tiba.
Waktu itu, malam hari sudah turun di Makkah. Fudhalah mendapati Nabi Muhammad SAW sedang berjalan menuju Ka’bah. Diam-diam, dia mengikutinya dari belakang.
Begitu sampai di dekat Ka'bah, Rasulullah SAW memanjatkan doa dan lalu berthawaf. Ketika beliau melalui tempat yang agak temaram, Fudhalah langsung berlari ke arahnya. Di tangan pemuda musyrik Quraisy itu, terhunus sebuah belati.
Tak disangka, Fudhalah tiba-tiba mendengar suara Nabi SAW menegurnya, “Apakah itu engkau, wahai Fudhalah?” Ternyata, keberadaannya sudah diketahui sebelum sempat belati itu menikam Nabi SAW.
“Benar,” jawab Fudhalah singkat.
“Apa yang sedang engkau pikirkan?” tanya Nabi SAW lagi.
“Saya sedang thawaf,” Fudhalah mencari-cari alasan.
Rasulullah SAW kemudian menghampirinya. Beliau meletakkan tangannya di atas dada Fudhalah bin Umair. Pemuda itu seperti disergap ketakutannya sendiri. Tubuhnya tak berkutik, seolah-oleh ditahan sesuatu yang tidak kasatmata.
“Mintalah ampun kepada Allah, wahai anakku,” kata Rasulullah SAW dengan lembut, padahal saat itu Fudhalah sudah tidak berdaya. Jantung pemuda itu seakan berhenti berdenyut karena tidak mengira dirinya yang tadi kuat justru menjadi lemah.
Dalam keadaan itu, Rasulullah SAW justru tidak menyerang balik. Beliau hanya menuturkan nasihat dengan tutur kata yang menyejukkan, supaya pemuda tersebut dibukakan hatinya oleh Allah SWT.
Sejak saat itu, Fudhalah bin Umair meyakini betapa luhur budi pekerti Rasulullah SAW. Rasa benci dan amarah lenyap, berganti menjadi cinta dan setia.
“'Demi Allah, sejak beliau mengangkat tangannya dari dadaku, maka tidak ada seorang pun yang aku cintai melebihi dirinya,” kenang Fudhalah.