REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga orang Khawarij menghadapi seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Abdullah bin Abbas. Ketiganya mewakili ribuan rekannya yang memiliki paham esktrem dalam beragama.
Salah satu hal yang mereka soroti adalah Ali bin Abi Thalib. Walaupun pernah membela mati-matian suami Fathimah binti Rasulullah SAW itu, mereka justru akhirnya berbelot dan menjadi penentang.
Itu setelah Ali berunding (tahkim) dengan kubu Mu'awiyah bin Abi Sufyan selepas Perang Shiffin. “Wahai kalian," kata Ibnu Abbas, "sampaikan kepadaku alasan kebencian kalian kepada menantu Rasul SAW beserta sahabat Muhajirin dan Anshar!"
Ibnu Abbas juga mengingatkan mereka bahwa Alquran pertama-tama turun kepada kaum Muhajirin dan Anshar, bukan golongan yang belakangan berislam seperti orang-orang Khawarij. "Bahkan, tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang bersama dengan kalian kini,” ucap dia.
“Kami punya tiga alasan,” kata pendebat dari kaum Khawarij.
Pertama, lanjut dia, Ali telah menjadikan manusia sebagai hakim—yakni dalam momen tahkim. Padahal, Allah berfirman dalam surah Yusuf ayat 40, yang artinya, “Keputusan itu hanyalah milik Allah.”
Kedua, Ali telah memerangi musuh, yakni kubu ‘Aisyah binti Abu Bakar, dalam Perang Unta. Namun, setelah menang, Ali tidak mengambil harta rampasan. Mereka mengecap, kalau ‘Aisyah adalah Mukmin, tentu haram bagi orang Islam berperang terhadapnya.
Ketiga, Ali telah menghapus sebutan amirul mu`minin dari dirinya. Khawarij menganggap, sejak itu ayahanda Hasan dan Husain tersebut menjadi amirul kaafiriin.
Ibnu Abbas lalu menjawab ketiga argumentasi orang-orang ekstremis tersebut sebagai berikut.
Pertama, Allah telah menyerahkan sebagian hukum-Nya kepada keputusan manusia. Misal, dalam hal tebusan atas hewan yang dibunuh seorang jamaah saat ihram. Keterangan tentang ini ada pada surah al-Maidah ayat 95. “Barangsiapa di antara kamu membunuhnya (hewan) dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan hewan ternak yang sepadan dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.”
Allah pun menyerahkan hukum-Nya kepada keputusan manusia dalam hal mendamaikan antara istri dan suami yang sedang bersengketa. Ini dijelaskan dalam surah an-Nisa ayat 35. “Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan.”
Dalam hal Ali, sang khalifah berupaya mendamaikan antarsesama Muslimin. “Ini memang pantas,” kata orang-orang Khawarij itu.
Mengenai Perang Unta, Ibnu Abbas mengingatkan, ‘Aisyah adalah seorang ummul mu`minin, ibu orang-orang beriman. Ini jelas dinyatakan dalam surah al-Ahzab ayat enam. “Nabi itu lebih utama bagi orang-orang Mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka.”
Terakhir, menjadikan ‘Aisyah sebagai tawanan perang dan bahkan menganggapnya kafir, itu sangat terlarang. Perbuatan takfiri justru dapat menyebabkan mereka keluar dari Islam.
Ibnu Abbas berkata, “Apakah kalian telah memahami di mana letak kekeliruan kalian?”
Mereka menjawab, “Ya.”
Setelah para duta mereka menerima keterangan dari sang sahabat Nabi, akhirnya sekira dua ribu orang Khawarij itu bertobat.