Jumat 28 Jun 2024 17:45 WIB

Melacak Jejak Syiar Islam di Maluku

Orang Arab sejak zaman pra-Islam sudah mencapai Maluku untuk dapatkan rempah-rempah.

Pemandangan matahari terbenam di Pantai Kastel, Kecamatan Ternate Pulau, Kota Ternate, Maluku Utara.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pemandangan matahari terbenam di Pantai Kastel, Kecamatan Ternate Pulau, Kota Ternate, Maluku Utara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak berabad-abad silam, Kepulauan Maluku masyhur sebagai penghasil rempah-rempah. Hal ini menjadikannya primadona di dunia perdagangan internasional.

Menurut Prof Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka dalam buku Sejarah Umat Islam, pasar Eropa mulai mengenal komoditas rempah-rempah dari para saudagar Arab pada abad ketujuh Masehi. Orang-orang Arab terbiasa mengarungi Samudra Hindia untuk mengangkut buah dan biji pala serta cengkeh dari Maluku ke Sailan (Sri Lanka) hingga pesisir Irak selatan.

Baca Juga

Kemudian, kafilah-kafilah dagang dari bangsa ini bergerak menuju kota-kota pelabuhan di pesisir Laut Tengah, utamanya Venesia (Italia). Para pebisnis Eropa terobsesi dengan hasil bumi Maluku karena laku keras meskipun dijual dengan harga yang amat mahal. Di Venesia, misalnya, nilai rempah-rempah diketahui bisa melonjak 1.000 persen dari harga semula di tangan pertama.

Bangsa Eropa menyebut Maluku sebagai Kepulauan Rempah-rempah (the Spice Islands). Jalur perniagaan di Samudra Hindia kemudian dinamakannya rute rempah-rempah (spice route). Adapun penamaan Maluku merujuk pada kata al-Mulk, yang dalam bahasa Arab bermakna `negeri raja-raja'. Hamka menjelaskan, ada empat kerajaan yang pernah memerintah di kepulauan tersebut, yakni Tidore, Ternate, Jailolo, dan Bacan.

photo
Rempah-rempah. - (dok wiki)

Sebelum mengenal agama-agama besar dunia, elite lokal menganut keperca yaan animisme. Penyebaran Islam di Maluku kemudian diikuti penulisan sejarah tradisional yang menarasikan silsilah para ningrat. Namun, kapan dan bagaimana kiranya Islam pertama kali masuk ke daerah ini? Hikayat setempat merujuk garis keturunan raja-raja Maluku sampai pada Ja'far Shadiq, cucu Ali bin Abi Thalib RA.

Sepintas, narasi tersebut kurang meyakinkan bila menjadi acuan historiografi modern. Namun, rentang waktunya mungkin masih dapat diandalkan. Sebab, bangsa Arab pada faktanya telah terbiasa melayari Samudra Hindia hingga ke pesisir timur Cina, setidaknya sejak abad keenam Masehi.

Benedikt Koehler dalam bukunya, Early Islam and the Birth of Capitalism, mengutip pernyataan orientalis Austria, Aloys Sprenger (meninggal 1893). Dia memuji bangsa Arab sebagai perintis perdagangan dunia atau globalisasi. Pamor tersebut telah ada jauh sebelum Rasulullah SAW lahir pada 570. Kaum saudagar Arab yang berlayar di Samudra Hindia memperantarai distribusi barang- barang mewah dari kota-kota pesisir Cina dan India untuk masuk ke pasar Eropa.

Dengan daya jangkau yang demikian, patut diduga bahwa pelaut Arab telah menapakkan kaki di Nusantara ketika Rasulullah SAW masih hidup. Beberapa pakar berpendapat, orang Arab-Muslim telah sampai di Jawa tidak lama setelah wafatnya sang Khatamul Anbiya pada 632 M.

Hamka, misalnya, menyebutkan bahwa sekitar tahun 675 telah datang utusan dari Arab ke Kalingga, suatu kerajaan Hindu-Buddha di pesisir utara Jawa. Kemudian, utusan ini pulang ke tanah airnya untuk mengungkap taktik penyiaran Islam di negeri-negeri Melayu. Metode yang dimaksud adalah berdakwah nirkekerasan, seturut dengan pesan Alquran: "Tidak ada paksaan dalam agama."

Lebih lanjut, para pelaut Arab yang singgah di Maluku sejak abad ke-10 sangat mungkin tidak sekadar membeli rempah-rempah. Beberapa dari mereka diduga bermukim di sana dan menikah dengan perempuan setempat. Namun, masih menurut Hamka, keturunannya yang ditinggal di Maluku tetap menganut animisme, alih-alih ikut menyebarkan Islam.

 

Peran Ternate-Tidore ....

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement