REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Penyelenggara Haji Umrah dan In-Bound Indonesia (Asphurindo) menyatakan keprihatinan atas maraknya orang Indonesia yang tertangkap petugas keamanan di Arab Saudi lantaran berangkat ke Tanah Suci kini tanpa visa haji. Menurut Direktur Asphurindo Muhammad Iqbal Muhajir, ada sejumlah kiat yang bisa dilakukan calon jamaah haji dalam memilih penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK). Dengan demikian, mereka insya Allah tidak terjebak janji-janji biro perjalanan (travel) haji dan umrah yang ilegal.
Pertama, kata dia, para calon jamaah bisa memilih travel haji yang terbukti menggunakan aplikasi haji pintar. Selanjutnya, pastikan biro perjalanan tersebut memiliki izin dan punya biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH).
"Jadi, resmi atau tidak resmi itu adalah tergantung BPIH," kata Iqbal Muhajir saat ditemui Media Center Haji (MCH) di Makkah, Arab Saudi, seperti dilansir Republika dari laman resmi Kementerian Agama (Kemenag), Jumat (14/6/2024).
BPIH awal, kata dia, mencapai 4.000 dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 65 juta atau BPIH pelunasan. Artinya, ketika mendaftar, semua jamaah harap memastikan adanya BPIH. Kalau itu tidak ada, hal demikian menandakan bahwa biro perjalanan tersebut tidak resmi.
"Kalau tidak ada BPIH-nya, itu sudah menjadi titik terang dan patut dipertanyakan," katanya menambahkan.
Begitu juga dengan Mujamalah. Ia melanjutkan, calon jamaah harus memastikan bahwa pengguna (user) dan kuotanya ada. Ketersediaan visa furodah pun mesti dipastikan terlebih dahulu.
"Semua jemaah haji resmi itu mendapatkan BPIH, porsi awal, nomor porsi. Kalau tidak ada, itu artinya indikasi haji ziarah. Jadi yang pertama tentunya cari di (aplikasi) Haji Pintar," ucapnya.
Melalui aplikasi yang dirilis Kementerian Agama (Kemenag) tersebut, calon jamaah haji dapat memeriksa nama-nama PIHK yang resmi. Setelah itu, nomor posisi atau biro perjalanan haji dapat dicari. "Itu bisa menyortir, mana yang resmi atau yang tidak resmi," katanya menegaskan.
Asphurindo mengapresiasi kerja aparat keamanan Arab Saudi yang melakukan penyisiran (sweeping) jamaah non-visa haji pada tahun ini. Ia menegaskan, PIHK di seluruh Indonesia tidak menjual visa non-haji.
"Adapun PIHK resmi, kami di bawah Kemenag, itu menjual haji khusus yang merupakan kuota dari pemerintah. Ada juga yang furoda mujamalah, itu resmi juga," ujarnya memaparkan.
"Jadi tidak ada PIHK-PIHK di Indonesia yang menjual visa non-haji. Kalau pun ada, kami dengan Kemenag terus membina, sebagaimana amanat undang-undang," lanjutnya.