Jumat 31 May 2024 13:36 WIB

Ijtima Ulama MUI: Salam Lintas Agama yang Mengandung Doa Haram Diucapkan Muslim

Salam lintas agama yang mengandung doa tidak boleh diucapkan umat Islam

Rep: Fuji E Permana / Red: Nashih Nashrullah
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam, mengatakan Salam lintas agama yang mengandung doa tidak boleh diucapkan umat Islam
Foto: Republika/Fuji E Permana
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, KH Asrorun Niam, mengatakan Salam lintas agama yang mengandung doa tidak boleh diucapkan umat Islam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ijtima Ulama ke-VIII yang digelar Majelis Ulama memutuskan salam lintas agama tidak diperbolehkan. Sebab salam lintas agama bukan implementasi dari toleransi dan moderasi.

Ketua Steering Committee (SC) Ijtima Ulama Komisi VIII, Prof KH Asrorun Niam Sholeh, menjelaskan  penggabungan ajaran berbagai agama termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan. Karena dalam Islam, mengucapkan salam merupakan doa yang bersifat ubaidiah. 

Baca Juga

"Karenanya harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampur adukkan dengan ucapan salam dari agama lain," kata Kiai Niam saat membacakan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII pada akhir Mei 2024.

Kiai Niam menerangkan, pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram. Sebab, pengucapan salam dengan cara menyertakan salam berbagai agama bukan merupakan implementasi dari toleransi dan moderasi beragama yang dibenarkan. 

 

"Dalam forum yang terdiri atas umat Islam dan umat beragama lain, umat Islam dibolehkan mengucapkan salam dengan Assalamualaikum atau salam nasional yang tidak mencampuradukkan dengan salam doa agama lain, seperti selamat pagi," ujar Kiai Niam.

Kiai Niam yang juga Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menjelaskan, dalam prinsip hubungan antarumat beragama, Islam menghormati pemeluk agama lain dengan menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya. 

Hal itu juga harus dengan prinsip-prinsip seperti toleransi (al-tasamuh), sesuai dengan tuntunan Alquran "lakum dinukum wa liyadin" yang artinya untukmu agamamu, dan untukku agamaku. Juga tanpa mencampuradukkan ajaran agama (sinkretisme). 

"Dalam masalah muamalah, perbedaan agama tidak menjadi halangan untuk terus menjalin kerja sama (al-ta'awun) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara harmonis, rukun dan damai," kata Kiai Niam yang juga Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat. 

Meski begitu, Kiai Ni'am menegaskan, umat Islam tidak boleh mengolok-olok, mencela dan atau merendahkan agama lain (al-istihza'). Antar umat beragama tidak boleh mencampuri atau mencampuradukkan ajaran agama lain.

Kegiatan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ini digelar pada 28-31 Mei 2024 dengan mengangkat tema tentang Fatwa: Panduan Keagamaan untuk Kemaslahatan Umat.

Kegiatan ini diikuti oleh 654 peserta dari unsur pimpinan lembaga fatwa ormas Islam tingkat pusat, pimpinan Komisi Fatwa MUI se-Indonesia, pimpinan pesantren tinggi ilmu-ilmu fikih, pimpinan fakultas syariah perguruan tinggi keIslaman, perwakilan lembaga fatwa negara ASEAN dan Timur Tengah seperti Malaysia dan Qatar, individu cendekiawan Muslim dan ahli hukum Islam, serta para peneliti sebagai peninjau.

Kegiatan ini juga dibuka oleh Wakil Presiden RI, KH Ma’ruf Amin. Sebelum pembukaan, hadir sejumlah tokoh untuk memberikan materi pengayaan terkait tema pembahasan ijtima antara lain Ketua Baznas Prof Noor Ahmad, Kepala BPKH Fadlul Imansyah, Dirjen Pengelolaan Haji dan Umroh (PHU) Kementerian Agama RI Prof Hilman Latief, Staf Ahli Menteri Luar Negeri RI Bidang Hubungan Antar Lembaga Muhsin Syihab, Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 KH Jusuf Kalla serta Ketua Umum KADIN Arsjad Rasjid.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement