Kamis 18 Jan 2024 22:41 WIB

LPPOM MUI: Halal dan Thayyib tidak Boleh Dipisahkan

Halal dan thayyib harus bersamaan, makanan tidak thayyib menyebabkan kemudharatan.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Gita Amanda
Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati saat acara Liputan Khusus dalam Mini Workshop bertema Urgensi Uji Laboratorium Terhadap Sertifikasi Halal di Aula Buya Hamka, Gedung MUI Pusat di Jakarta pada Kamis (18/1/2024).
Foto: Republika/Fuji E Permana
Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati saat acara Liputan Khusus dalam Mini Workshop bertema Urgensi Uji Laboratorium Terhadap Sertifikasi Halal di Aula Buya Hamka, Gedung MUI Pusat di Jakarta pada Kamis (18/1/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar Liputan Khusus dalam mini workshop bertema Urgensi Uji Laboratorium Terhadap Sertifikasi Halal di Aula Buya Hamka, Gedung MUI Pusat di Jakarta, pada Kamis (18/1/2024). 

Direktur Utama LPPOM MUI, Muti Arintawati dalam kegiatan tersebut menegaskan bahwa makanan halal dan thayyib tidak bisa dipisahkan. Thayyib artinya baik untuk tubuh dan kesehatan manusia.

Baca Juga

"Halal dan thayyib harus bersamaan, tidak boleh berpisah, karena kalau makanan tidak thayyib menyebabkan kemudharatan, itu harusnya menjadi tidak halal," kata Muti kepada wartawan yang menghadiri mini workshop yang digelar LPPOM MUI, Kamis (18/1/2024). 

LPPOM MUI ditanya apakah tahu yang mengandung formalin (bahan kimia berbahaya yang sering digunakan untuk mengawetkan mayat) menjadi tidak thayyib? Menurut LPPOM MUI fenomena tahu diformalin masih menjadi PR (pekerjaan yang belum selesai dan harus diselesaikan) karena umumnya mereka adalah usaha kecil.

"Bicara penggunaan bahan berbahaya (seperti formalin) selama ini menjadi PR besar bagi Badan POM dan jajarannya yang memang belum selesai," ujar Muti.

Muti menegaskan, kalau LPPOM MUI mengaudit suatu produk milik pelaku usaha. Kemudian ditemukan bahan berbahaya dalam produknya tersebut, pasti tidak dilanjutkan proses auditnya. Sehingga tidak bisa dilakukan sertifikasi halal.

Selanjutnya, pelaku usaha yang menggunakan bahan berbahaya itu akan diedukasi. Jadi ada proses edukasi, sehingga bahan-bahannya halal dan thayyib, agar bisa dilakukan proses sertifikasi halalnya.

"Harusnya seperti itu tapi pada praktiknya tidak sesederhana itu dan itu jadi tantangan bagi kita semua," ujar Muti.

Dalam kegiatan Liputan Khusus dalam Mini Workshop yang digelar LPPOM MUI, wartawan dari berbagai media yang hadir ikut praktik menguji kehalalan produk daging olahan.

Para wartawan praktik melakukan uji DNA/ protein babi dengan Porcine Detection Kit (PDK), dan uji pola kulit babi menggunakan Mikroskop Stereop. Dalam praktik tersebut ditemukan satu produk daging olahan mengandung protein babi, sehingga diketahui daging olahan itu haram dikonsumsi.

Metode Porcine Detection Kit (PDK) dapat mendeteksi 0,1 persen protein babi yang terkandung dalam suatu produk makanan. Meski hanya mengandung 0,1 persen saja protein babi, tetap dapat terdeteksi. Tapi ada metode lain yang tingkat akurasinya lebih baik dari Porcine Detection Kit (PDK), metode itu digunakan untuk melakukan audit lanjutan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement