Kamis 27 Jul 2023 22:54 WIB

Konten Medsos Dinilai Rusak Mental Anak, MUI Imbau Umat Islam Lebih Bijak

MUI menilai perkembangan konten yang sulit dikontrol sudah semakin mengkhawatirkan.

Rep: Muhyiddin/ Red: Gita Amanda
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amirsyah Tambunan mengatakan konten yang tersebar di media sosial, termasuk di Tiktok dapat merusak mental anak. (ilustrasi).
Foto: Pixabay
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amirsyah Tambunan mengatakan konten yang tersebar di media sosial, termasuk di Tiktok dapat merusak mental anak. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amirsyah Tambunan mengimbau kepada umat Islam untuk lebih bijak dalam bermedia sosial. Karena, menurut dia, konten yang tersebar di media sosial, termasuk di Tiktok dapat merusak mental anak. 

Menurut dia, perkembangan konten yang sulit dikontrol sudah semakin mengkhawatirkan dan bisa berpengaruh pada mental health. Saat ini banyak konten-konten media sosial tanpa sensor atau konten pornografi, termasuk di Tiktok. 

 

Konten di media sosial itu pun tidak layak dikonsumsi, terlebih sesuai dengan umur si pengguna. Karena itu, menurut Amirsyah, semua pihak, baik pemerintah, orang tua, dan para dai harus turut mengawasi dan membimbing mereka.

 

"Media sosial itu juga bisa merusak kesehatan mental. Bayangkan kalau anak-anak ketergantungan ke gadget dalam waktu delapan jam per hari, itu merusak struktur otak anak- anak yang belum mapan," ujar Amirsyah saat menjadi pembicara dalam acara Halaqah Peningkatan Peran Dai Dalam Mengantisipasi Dampak Digitalisasi IT di kantor MUI, Jakarta Pusat, Kamis (27/8/2023). 

 

Tidak hanya itu, menurut dia, konten yang banyak tersebar di Tiktok juga dapat membuat orang dewasa merasa candu. "Jangankan anak-anak kita yang dewasa saja kalau delapan jam per hari pusing kita. Giliran baca Alquran sebagai muslim, lima menit sudah menguap," ucap dia. 

 

Sementara, di tempat yang sama, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan turunan udang-undang mengenai Perlindungan Data Pribadi. Turunan beleid tersebut akan mengatur banyak hal. 

 

Dia menjelaskan, saat ini data atau identitas penduduk Indonesia yang menjadi pengguna media sosial sangat rentan. Karena itu, banyak negara yang memblokir Tiktok dengan alasan keamanan data, termasuk di India baru-bari ini. 

 

"Nah, yang jadi masalah sekarang kan yang datanya itu di mana? Data kita di Tiktok tuh di mana, di siapa, diolah bagaimana algoritmatya mereka untuk apa? Itu kan harus jelas," kata Nailul. 

 

Dia mengatakan, masyarakat sekarang ini tidak bisa memungkiri media sosial sebagai tempat interaksi antarindividu. Namun, menurut dia, interaksi itu kini tidak bisa dibatasi.  "Kalau e-commerce itu kan interaksi antara pembeli dan penjual, kalau sosial media itu interaksi antar individu. Tapi bisa jadi interaksi antar-individu juga saling menawar barang jual beli barang, makanya kita sebut itu sosial commerce. Nah, sosial commerce ini yang belum ada aturannya di Indonesia," jelas Nialul. 

 

Dalam kegiatan Halaqah ini, Komisi Dakwah MUI juga mengeluarkan rekomendasi dalam Halaqah kali ini. Di antaranya, pemerintah diminta melakukan pembatasan konten IT serta akses platform media sosial dan pesan yang tidak dipertanggungjawabkan dan berisi provokasi.

 

Kedua, para dai dan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) harus mampu menguasai teknologi informasi serta kreatif. Sedangkan yang terakhir, masyarakat diharapkan bijak dalam menggunakan teknologi, harus terus berpegang teguh pada nilai-nilai keagamaan, Pancasila, UUD 1945, nilai budaya dan norma yang berlaku di masyarakat.

 

Wakil Sekretaris Jenderal MUI, Arif Fahrudin menambahkan, ke depan juga perlu dirumuskan semacam kampanye bersama seluruh pihak, termasuk pemerintah untuk menjaga kedaulatan data negara. 

 

Menurut dia, Indonesia menjadi pangsa pasar yang besar. Salah satunya Tiktok, di mana penggunanya menjadi tiga terbesar di dunia. Namun, platform Tiktok asal Tiongkok dan media sosial lainnya itu dimiliki asing, sehingga ada kekhawatiran. 

 

"Di Cina yang diktator memiliki sistem informasi tersendiri, karena bagaimana pun juga, platform yang ada, seperti Google dan sebagainya, bukan milik kita, bukan milik Indonesia. Sehingga kita tidak mungkin, tidak bisa disadap," ujar dia.

 

"Ini yg saya harap, perlu ada infrastruktur teknologi yang bisa regulasinya dari kita, manajerial dari kita dan penindakan dari kita," kata Arif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement