Senin 26 Jun 2023 21:56 WIB

Komisi Fatwa MUI Tegaskan Nikah Beda Agama Haram dan tidak Sah

Pernikahan beda agama ditegaskan MUI haram dan tidak sah.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
 Komisi Fatwa MUI Tegaskan Nikah Beda Agama Haram dan Tidak Sah. Foto:  Logo MUI
Komisi Fatwa MUI Tegaskan Nikah Beda Agama Haram dan Tidak Sah. Foto: Logo MUI

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan, pernikahan beda agama itu haram dan tidak sah. Ini didasarkan pada Fatwa MUI nomor 4 tahun 2005, yang mengacu kontens kehidupan rumah tangga di Indonesia, dan sejumlah dalil, baik dari Alquran maupun hadits.

MUI dalam Fatwa Nomor 4 Tahun 2005 tentang perkawinan beda agama memutuskan bahwa, pertama, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Kedua, perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu'tamad (pendapat yang diunggulkan), adalah haram dan tidak sah.

Baca Juga

Sekretaris Komisi Fatwa MUI KH Miftahul Huda menjelaskan, Fatwa MUI nomor 4 tahun 2005 itu menjadi panduan bagi umat Islam bahwa nikah beda agama secara syariat itu tidak sah. "Dengan munculnya hukum tidak sah di sana tentu ada hal-hal yang negatif, yang berpengaruh pada efek pernikahan beda agama itu," kata dia kepada Republika.co.id, Senin (26/6/2023).

Kiai Miftah melanjutkan, terdapat ayat Alquran (QS Al Maidah ayat 5) yang memang menunjukkan bahwa menikah dengan ahli kitab itu sah dan yang diharamkan hanya dengan orang musyrik.

Namun, merujuk pada konteks budaya di Indonesia, fatwa MUI tersebut lebih tajam dan tidak terbatas pada keharaman menikah dengan orang musyrik, tetapi dengan yang beda agama itu juga diharamkan.

"Bahkan dalam fatwa itu lebih luas lagi, lebih tajam. Tidak terbatas pada menikah dengan orang musyrik saja. Dengan beda agama itu juga diharamkan. Karena melihat konteks dari budaya Indonesia, di mana anak lebih terikat pada ibu. Misal pendidikannya, mulai dari kecil tarbiyahnya itu kan lebih dekat pada ibu," ujarnya.

Karena itu, jika ibu beda agama, yakni agama Yahudi atau Nasrani misalnya, maka akan memengaruhi agama dan budaya anaknya. "Jadi meski dalam ayat itu orang Muslim dibolehkan menikah dengan wanita Yahudi dan Nasrani, yang ahli kitab, tapi fatwa kita tetap mengharamkan," ujarnya.

Kiai Miftah melanjutkan, dalam konteks budaya di Indonesia, perempuan atau istri itu lebih dominan pada pendidikan anak. "Maka diharamkanlah nikah beda agama. Ini menjadi panduan bagi masyarakat," tuturnya.

Terkait kewenangan MUI untuk mencegah pernikahan beda agama, Kiai Miftah mengatakan MUI hanya sebatas mengimbau melalui fatwa tersebut. Meski demikian, sebetulnya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku saat ini juga melarang pernikahan beda agama.

Karena itu, menurut Kiai Miftah, sebaiknya perlu adanya harmonisasi antara UU Perkawinan dengan pengadilan negeri. Dia pun berharap agar Kementerian Hukum dan HAM bisa melakukan harmonisasi tersebut, sehingga tidak menjadi perbincangan yang negatif di tengah masyarakat.

"Memang ini agak rumit, apalagi pernikahan itu ada di dua ranah. Kalau di pengadilan agama, cukup jelas karena di UU perkawinan juga tidak diperbolehkan menikah beda agama. Tetapi di pengadilan negeri yang memang memungkinkan," tuturnya.

Terlepas dari hal tersebut, Kiai Miftah juga mengingatkan, pernikahan beda agama itu menimbulkan ketidaktenangan tidak hanya pada anak nantinya, tetapi juga pada hubungan antara suami dan istri. Ini seperti kisah artis yang menikah beda agama yang berujung perceraian meski pernikahan tersebut telah berlangsung lama.

"Ketenangan batin dengan dua keyakinan yang berbeda dalam satu rumah tangga itu kan susah juga. Tidak hanya berefek pada anak dan pendidikannya, yang nanti menjadi beragama yang bermacam-macam dan berbeda dengan ayahnya yang bertanggung jawab terhadap anaknya dunia akhirat. Antara suami istri yang beda agama juga tidak gampang untuk membuat harmoni, padahal harmoni menjadi syarat kebahagiaan hubungan suami istri," paparnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement