REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memperingatkan, ada kemungkinan terjadinya "konflik besar" di Timur Tengah. Itu berkaitan dengan rencana Israel yang hendak menyerang fasilitas nuklir Iran.
Berbicara kepada wartawan pada Kamis (12/6/2025) waktu setempat, Trump mengatakan, pihaknya ingin agar Timur Tengah menghindari konflik. Ia juga menyiratkan bahwa AS menghendaki Israel agar menunda rencana menyerang fasilitas nuklir Iran. Di samping itu, ditegaskannya bahwa Washington akan melanjutkan perundingan dengan Tehran.
"Saya ingin mencapai kesepakatan dengan Iran. Kami sudah cukup dekat dengan kesepakatan itu... Saya jauh lebih memilih kesepakatan," kata Presiden AS tersebut, dilansir Al Jazeera, Jumat (13/6/2025).
"Selama saya pikir kesepakatan itu mungkin tercapai, saya tidak ingin mereka (Israel) menyerang. Sebab, saya rasa itu akan menghancurkan segalanya – meskipun bisa juga justru membantu, tapi juga bisa menghancurkannya," tambah dia.
Walaupun berkali-kali menyatakan bahwa serangan Israel ke Iran "sangat mungkin terjadi", Trump enggan memerinci apakah AS akan terlibat atau membantu zionis dalam serangan tersebut.
Pernyataannya ini disampaikan sehari setelah AS menarik sebagian diplomatnya dari kawasan Timur Tengah dan menetapkan status siaga tinggi di kedutaan-kedutaannya.
"Ada peluang terjadinya konflik besar," kata Trump.
"Kita memiliki banyak warga Amerika di kawasan ini (Timur Tengah). Dan saya katakan: kita harus memberi tahu mereka agar segera keluar karena sesuatu bisa saja terjadi dalam waktu dekat," ucap Trump.
Iran peringatkan terhadap 'agresi'
Di awal masa jabatan keduanya, Trump menandatangani perintah eksekutif untuk memperketat sanksi terhadap Iran guna memutus ekspor minyak negara itu, terutama ke China. Namun, presiden AS tersebut juga berulang kali menekankan bahwa dirinya tidak menginginkan perang.
Sementara itu, lebih dari dua dekade Tel Aviv menuding bahwa Iran "hampir menciptakan senjata nuklir."
Dalam beberapa bulan terakhir, pejabat-pejabat Israel mengisyaratkan bahwa mereka melihat momen yang tepat untuk menyerang Iran. Hal itu terutama usai sekutu Tehran mengalami pukulan hebat tahun lalu. Termasuk di antaranya, kejatuhan mantan presiden Suriah Bashar al-Assad dan melemahnya Hizbullah di Lebanon.