REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Agama menyebut pencabutan rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai syarat pendirian rumah ibadah perlu dilakukan untuk memudahkan pendirian rumah ibadah dan kasus penggerudukan ibadah tidak terjadi lagi.
Lantas bagaimana jika muncul perselisihan dalam pendirian rumah ibadah? Padahal dalam peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 dijelakan peran FKUB jika terjadi perselisihan.
Dalam SKB dua menteri tersebut disebutkan perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat.
Dalam hal musyawarah tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan oleh bupati atau wali kota dibantu kepala kantor departemen agama kabupaten atau kota melalui musyawarah yang dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan mempertimbangkan pendapat atau saran FKUB kabupaten atau kota.
Namun jika penyelesaian perselisihan dengan bupati atau wali kota tidak dicapai maka penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan setempat.
Gubernur kemudian melaksanakan pembinaan terhadap bupati atau wali kota serta instansi terkait di daerah dalam menyelesaikan perselisihan.
Lantas seperti apa syarat pendirian rumah ibadah seperti tertuang dalam SKB 2 menteri tersebut?
Dalam peraturan tersebut disebutkan syarat-syarat pendirian rumah ibadah yang tertulis di Bab IV Pasal 14 hingga 17. Berikut syarat pendirian rumah ibadah yang disebutkan dalam SKB dua menteri:
Pendirian rumah ibadah harus didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan atau desa.
Ketika mendirikan rumah ibadah, pemeluk agama rumah ibadah tersebut harus tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan.
Ketika komposisi jumlah penduduk di kelurahan atau desa tidak terpenuhi maka pertimbangan komposisi jumlah penduduk dapat menggunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten ataukota atau provinsi.
Setelah syarat komposisi penduduk terpenuhi, syarat selanjutnya adalah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung serta persyaratan khusus meliputi:
Pertama, daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.
Kedua, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa.
Ketiga, rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten atau kota.
Keempat, rekomendasi tertulis FKUB kabupaten atau kota. Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud dalam merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis.
Ketika rekomendasi tertulis FKUB kabupaten atau kota belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah.
Selanjutnya permohonan pendirian rumah ibadah diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada bupati atau wali kota untuk memperoleh IMB rumah ibadah.
Baca juga: Terpikat Islam Sejak Belia, Mualaf Adrianus: Jawaban Atas Keraguan Saya Selama Ini
Bupati atau wali kota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadah diajukan.
Jika ada perubahan rencana tata ruang wilayah maka Pemerintah daerah harus memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung rumah ibadah yang telah memiliki IMB yang dipindahkan.
Pada rapat dengar pendapat dengan DPR-RI Senin (5/6/2023) lalu Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengusulkan saran memangkas izin pendirian rumah ibadah. Sebelumnya, pendirian rumah ibadah membutuhkan rekomendasi dari lebih satu instansi.
"Dulu itu ada SKB (surat keputusan bersama) dua menteri (Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri). (Isinya) bahwa ada dua rekomendasi apabila hendak mendirikan rumah ibadah, yaitu dari FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) dan Kemenag. Sekarang kami menghapus satu rekomendasi, sehingga cukup dari Kemenag dan ini kami ajukan dalam Perpres," kata Menag.