REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan keprihatinan mendalam atas musibah yang melanda sebagian Pulau Sumatra. Hingga kini, jumlah korban jiwa akibat bencana banjir bandang di Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat telah menembus lebih dari 600 orang.
Menurut Wakil Ketua Umum MUI Buya Anwar Abbas, musibah itu tidak dapat dilepaskan dari kondisi ekologis, terutama area hutan setempat. Semestinya, negara memelihara kawasan hutan dan habitat alam di dalamnya.
Akan tetapi, lanjut Buya Anwar, pengelolaan kawasan hutan tersebut tidak diberikan oleh pemerintah kepada rakyat, melainkan pihak asing atau para pemilik kapital.
"Akibatnya, untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan berupa pelanggaran dari ketentuan-ketentuan yang ada," ujar Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu kepada Republika, Rabu (3/12/2025).
Walaupun sudah membentuk satuan tugas (task force) penertiban kawasan hutan, pemerintah seperti tak berdaya menghadapi keinginan pihak pengusaha. Buya Anwar menegaskan, musibah yang terjadi di Sumatra kini berkaitan dengan kesalahan dalam mengelola hutan.
"Ini salah siapa? Pertama, ini tentu merupakan kesalahan pemerintah yang telah membuat kebijakan dan tidak bisa mengawasi implementasinya dengan baik," ujar Buya Anwar.
"Kedua, ini adalah kesalahan pihak pengusaha yang hanya berpikir untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memikirkan kemashlahatan bagi orang lain dan lingkungan," sambung dia.
Buya Anwar pun mengimbau pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan terkait pengelolaan hutan. Jangan sampai daerah-daerah lain merasakan dampak buruk kesalahan tata kelola, sebagaimana yang kini dirasakan sebagian masyarakat Sumatra.
"Kepada pihak pengusaha, kita harapkan agar mereka tidak berlepas tangan, tapi harus bertanggung jawab terhadap masalah yang ada," tukas dia.




