REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Ramai beredar di media sosial video seorang pendeta Hindu asal India, Yati Narsinghanand Saraswati, menyerukan penaklukan Makkah. Tidak hanya itu, dia juga mengajak pengikut Hindu lainnya untuk melakukan serangan pada Kabah.
Sebelumnya, dia sempat dirangkap oleh otoritas setempat akibat pernyataannya yang mengandung kebencial terhadap Islam. Dia juga diketahui kerap menyampaikan keinginan untuk menjadikan Kabah sebagai kuil Hindu Makkeshwar Maharaj.
Sepanjang video yang viral beberapa hari terakhir ini, Pendeta Yati Narsinghanand Saraswati mengajak umat Hindu untuk bersatu dan menyerang serta merebut Makkah. Beberapa umat Hindu percaya, sebuah kuil yang didedikasikan untuk dewa Hindu Siwa pernah berada di lokasi Kabah saat ini. Namun, benarkah seperti itu? Seperti apa sejarah Makkah yang sebenarnya?
Kota Makkah yang berada di Kerajaan Arab Saudi bagian barat itu merupakan kota paling suci dalam Islam. Dia menjadi tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW hingga 622 Masehi, sebelum hijrah ke Madinah dan kembali merebutnya pada 630 Masehi.
Dilansir di Britannica, Kamis (13/4/2023), Makkah sempat berada di bawah kendali dinasti Mamluk Mesir pada 1269 M dan Kekaisaran Ottoman pada 1517. Raja Ibn Saʿūd lantas mendudukinya pada 1925 dan mengubahnya menjadi bagian dari Kerajaan Arab Saudi.
Makkah di zaman dulu merupakan oasis jalur perdagangan kafilah tua. Wilayah ini menghubungkan Mediterania dengan Arab Selatan, Afrika Timur dan Asia Selatan. Secara bertahap, kota ini berkembang pada zaman Romawi dan Bizantium, menjadi pusat perdagangan dan keagamaan.
Menurut sejarah Islam, Kabah yang ada di kota Makkah dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Ini menjadi titik pusat ziarah sebelum Islam masuk pada abad ke-7. Bangunan batu berbentuk kubus tersebut sempat dihancurkan dan dibangun kembali beberapa kali.
Di masa pra-Islam itu, Makkah sempat diperintah oleh serangkaian suku Yaman. Di bawah kepemimpinan Quraisy, wilayah tersebut menjadi semacam negara kota dengan hubungan komersial yang kuat ke seluruh Arab, Ethiopia dan Eropa. Kota Makkah lantas menjadi tempat perdagangan, ziarah, dan pertemuan suku.
Selanjutnya, kepentingan religius di kota ini menjadi sangat meningkat dengan kelahiran Muhammad. Meski demikian, Nabi Muhammad sempat terpaksa melarikan diri dari Makkah pada tahun 622 dan kembali delapan tahun kemudian untuk menguasai kota.
Setelah mendapatkan Makkah, Rasul dan para sahabat membersihkan Makkah dan sekitar Ka'bah dari berhala. Dia mendeklarasikan Makkah sebagai pusat ziarah umat Muslim dan mempersembahkannya kepada Allah SWT.
Sejak saat itu, kota Makkah menjadi pusat keagamaan umat Islam. Mengingat rute kafilah kuno yang mulai menurun, Makkah pun kehilangan sisi komersialnya dan hidup dari hasil ziarah tahunan dan pemberian para penguasa Muslim.
Dinasti Umayah di bawah pimpinan Khalifah Abdul Malik bin Marwan bin Hakam sempat mengalami guncangan karena tindakan Abdullah bin Zubair. Kala itu, Hajaj bin Yusuf muncul dengan segala kekejamannya dan diberikan kepercayaan untuk menumpas gerakan Abdullah bin Zubair.
Pada saat itu, benteng pertahanan Abdullah bin Zubair berada di kota Makkah. Hajjaj bin Yusuf dengan tanpa segan dan tanpa mempedulikan kesucian tanah Makkah menyerang dan melakukan pengepungan terhadap kota Makkah selama 6 bulan.
Akibat dari tindakannya, ribuan nyawa melayang dan darah tertumpah dimana-mana. Beliau bahkan menyerang kota Makkah dengan menggunakan Manjaniq (ketapel tempur) sehingga sebagian dari bangunan Kabah roboh.
Baca juga: 6 Fakta Seputar Saddam Hussein yang Jarang Diketahui, Salah Satunya Anti Israel
Hajar Aswad juga sempat dilaporkan dicuri dari Kabah, sekitar 930 Masehi oleh pasukan Qarmatians saat menjarah Makkah. Prajurit Qarmatians membawa batu tersebut ke wilayah mereka di Ihsaa atau Hajar (Arab Timur Modern).
Kelompok itu juga menodai aliran sumur air Zamzam dengan jasad para Muslim yang tewas dalam peristiwa itu. Menurut sejarawan Ottoman Qutb al-Din, pemimpin Qarmatians saat itu memasang Hajar Aswad di masjidnya sendiri, Masjid Al-Dirar, dengan maksud mengalihkan ibadah haji dari Makah.
Namun, upaya itu gagal karena jamaah haji saat itu terus menghormati Kabah. Menurut sejarawan Al Juwayni, pada tahun 952 Masehi, Hajar Aswad dikembalikan ke tempat aslinya.