REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasan Basri Tanjung
Sejatinya, setiap ibadah dalam Islam selalu mengandung pesan moral yang tinggi (akhlak). Nilai- nilai tersebut bukan hanya tampak pada saat mengerjakan, tetapi harus membumi dalam perilaku dan interaksi sosial keseharian. Artinya, beribadah tidak hanya bersifat personal antara pribadi dengan Allah SWT (kesalehan ritual), tetapi juga kontributif terhadap kehidupan masyarakat sekitarnya (kesalehan sosial).
Syekh Muhammad al-Ghazali dalam buku Akhlak Seorang Muslimmenegas kan, ibadah yang termaktub dalam rukun Islam bertujuan untuk membentuk akhlak seorang Muslim. Hal ini selaras dengan misi utama risalah kerasulan Nabi Muhammad SAW, yakni untuk menyempurnakan keluhuran akhlak (HR Ahmad).
Nilai esetoris ibadah shalat akan membersihkan jiwa seseorang dari perbuatan keji dan mungkar yang menghinakan (QS al-Ankabut [29]: 45).
Zakat dan sedekah untuk menanamkan dan menumbuhkan kasih sayang serta merekatkan ukhuwah Islamiyah (QS at- Taubah [9]: 103). Juga, puasa sebagai latihan menahan diri dari hawa nafsu untuk melakukan perbuatan yang terlarang seperti dusta dan penipuan (HR Bukhari). Demikian pula haji, selain menapaki jejak hidup Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS juga untuk menghindari perilaku yang merusak keharmonisan sosial (QS al-Baqarah [2]:197).
Orang bijak berkata bahwa keberhasilan sebuah pelatihan bukan pada saat dilakukan, tetapi setelah dilaksanakan. Sekembali dari Tanah Suci, para dhuyufur-rahman dinantikan kontribusinya sebagai wujud kemabruran hajinya.
Sebab, Nabi SAW pernah bersabda, Haji mabrur tiada balasan baginya kecuali sur ga. Lalu, para sahabat bertanya, Wahai Nabi Allah, apa kah haji mabrur itu?Beliau menjawab, Ith'aamu ath-tha'aam (memberi makan orang lapar) dan ifsyaau as-salaam(menebarkan kedamaian).(HR Ahmad).
Pesan Nabi SAW tersebut menegaskan bahwa bukti kemabruran itu terlihat pada kesalehan sosial yakni kepedulian terhadap orang-orang miskin yang terlantar dan gerakan pemberdayaan umat.
Oleh karena itu, seorang haji tidak patut berpangku tangan di tengah kondisi masya rakat yang buruk dan larut dalam kenik matan spiritual dalam kesendiriannya.
Sejalan pula dengan petuah Prof KH Didin Hafidhuddin dalam buku Membangun Kemandirian Umatbahwa pascahaji seorang Muslim dituntut untuk berubah menjadi lebih baik (an-yakuuna ahsana min qablu) dan menjadi agen perubahan di lingkungannya (wa an-yakuuna qudwata ahli baladihi).
Artinya, kecintaan kepada Islam, ketaatan beribadah, kualitas kerja, mencari rezeki yang halal, kejujuran, kerendahan hati, kepekaan sosial, kedermawanan, serta perilaku utama lainnya harus tecermin dalam karakter seorang yang sudah menunaikan haji.
Akhirnya, seorang haji hendaklah gigih membangun ekonomi keluarganya dengan kerja keras, cerdas dan ikhlas agar bisa menolong kaum dhuafa. Lalu, berperan aktif dalam mencerdaskan umat menjadi pribadi yang tangguh dan berkeadaban.Allahu a'lam bissawab.