"Dalam hal komite administratif tidak memilih seragam, pakaian yang mengganggu kesetaraan, integritas dan hukum dan ketertiban publik tidak boleh dipakai," kata arahan pemerintah Karnataka tersebut, dilansir di The New Arab, Jumat (11/2/2022).
Pada 7 Februari 2022 lalu, Sekolah Pra-Universitas Negeri (Government PU College) di Kundapur mengizinkan siswa berhijab untuk masuk kembali ke perguruan tinggi, namun mereka diminta untuk pergi ke ruang terpisah. Hal itu lantas menuai kekhawatiran tentang segregasi, yakni pemisahan dan pengasingan fisik dari dua kelompok, tempat tinggal, tempat kerja, dan di fungsi sosial.
"Dulu hanya kampus kami, sekarang juga perguruan tinggi lain yang perlahan-lahan melarang ekspresi identitas Islam kami, bahkan jika itu hanya kain di sekitar kepala kami," kata pemrotes mahasiswa berusia 17 tahun Aliya Assadi, yang tidak diizinkan masuk perguruan tinggi sejak Desember lalu.
Dia merasa perguruan tinggi tersebut sangat mendiskriminasi gadis-gadis Muslim untuk membuat mereka melepaskan jilbab. Di samping itu, ia melihat negara bagian Karnataka sebagai 'hutan tempat api Islamofobia menyebar lebih jauh setiap hari'.
Orang tua Aliya sangat khawatir. Pasalnya, Aliya dan teman-temannya bertekad mengklaim hak mereka untuk mempraktikkan agama mereka secara bebas seperti yang dijamin oleh Konstitusi India berdasarkan pasal 25-28. Namun, keluarganya khawatir karena ini adalah bulan-bulan terakhirnya di perguruan tinggi pra-universitas yang sangat penting bagi kariernya, di tengah ancaman oleh para pemimpin setempat.
April tahun lalu, Aliya menceritakan bagaimana dia dipaksa melepas jilbabnya di dalam kampusnya oleh sekolah dan mengancam dia tidak akan diizinkan masuk ke kelasnya jika jilbabnya muncul lagi. Para siswa di perguruan tinggi Udupi juga menuduh bahwa di masa lalu sekolah telah secara paksa menarik jilbab dari kepala mahasiswa.
"Saya melihat kebencian di mana-mana, hanya karena kami Muslim," ujar Aliya.