Ahad 08 Aug 2021 07:47 WIB

Muhammadiyah, Buku, dan Literasi di Hindia Belanda

Buku membantu mengubah cara kaum Muslim Hindia Belanda belajar mengenai agamanya.

Muhammadiyah, Buku, dan Literasi di Hindia Belanda. Bibliotheek Moehammadijah Taman Poestaka atau Perpustakaan Taman Pustaka Muhammadiyah di masa Hindia Belanda..
Foto:

Ini bisa dilihat pada Januari 1923, melalui toko barunya Suara Muhammadiyah, Toko Administrateur Soewara Moehammadijah (Toko ASM). Toko ini, yang bisa dipandang sebagai pendahulunya apa yang kini dikenal sebagai Suara Muhammadiyah (SM) Corner—per akhir 2019 SM Corner telah berjumlah 40 cabang di seluruh Indonesia plus 4 cabang di mancanegara—, beralamat di Jagang, Rotowinatan, Yogyakarta.

Toko ASM menjual buku-buku yang dikeluarkan oleh Taman Pustaka Yogyakarta, Solo, dan daerah lainnya. Artinya, dalam beberapa tahun setelah peresmiannya, Bahagian Taman Pustaka, baik di Yogyakarta ataupun di daerah-daerah lain, telah berhasil menjalankan tugasnya, dalam hal ini menghasilkan buku-buku bacaan untuk kaum Muslim Hindia Belanda.

Yang paling produktif berkarya adalah Taman Pustaka Yogyakarta. Per 1923 itu mereka setidaknya telah mengeluarkan sepuluh buku.

Temanya beragam, mulai dari pelajaran bahasa Arab (Choeroef Hidjaijah, aksara pegon, harga f 1,25), hukum Islam (Fekih Djilid 1 & 2, aksara pegon, harga f 0,40), dasar-dasar agama Islam (Ringkesan Islam, aksara Latin, harga f 0,40), kisah isra’ mi’rajnya Nabi Muhammad SAW (Mikradnja K.N.M., bahasa Melayu, harga f 0,40) hingga beberapa buku lainnya dalam bahasa Jawa (Mardisampoerno 1 & 2, harga masing-masing f 0,40 dan f 0,60; Piwoelang Siswo, harga f 0,40; Ngakaid Jilid 1 & 2, harga masing-masing f 0,40). Adapun buku-buku yang diterbitkan oleh Taman Pustaka Solo dan daerah lainnya antara lain berjudul Pesalatan Pake Gambar (Jawa, f 0,22 ½), Nikah (Hal Selaki Rabi) (f 0,37 ½), Manasik Hadji (Jawa, f 1,90), Hetjeraning Soeroso (Jawa, f 0,37 ½), dan Tepsier Pegon Djoes 1-2 (Jawa, f 1,65).

Sasaran pembacanya buku-buku di atas bukan hanya warga Muhammadiyah saja, tetapi, sebagaimana tertulis dalam salah satu iklan penjualan buku di Suara Muhammadiyah tahun 1923: ‘Saudara saudara dan Toewan toewan Kaoem Islam di Hindia Nederlan’. Cakupan bahasa dan aksaranya juga diusahakan untuk tidak eksklusif, melainkan mencakup bahasa dan aksara yang banyak dipakai di kalangan pribumi Hindia Belanda saat itu, yakni bahasa Melayu dan Jawa, dengan aksara Latin dan Arab (pegon).

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement