“Ini tidak masuk akal, pada saat yang sama mereka menjelekkan seolah-olah pemandangan kerudung kami dapat meradikalisasi siapa pun yang memandang kami. Mereka ingin membuat kita tidak terlihat. Faktanya, itulah katanya: kami merasa tidak terlihat, " ungkap dia.
Nadia, Lamya, dan Laila hanya beberapa Muslim yang mengalami bentuk rasialisme dan Islamofobia di Prancis.
Menanggapi hal tersebut, ketua organisasi interseksional feminis dan antirasialis, Lallab, yang berbasis di Paris, Fatima Bent mengatakan wanita Muslim memang selalu ditampilkan oleh film hingga politikus sebagai wanita tertindas tanpa kehendak. Konsepsi itu, kata dia, adalah sudut pandang Eurosentris dan definisi pembebasan yang rasialis, seksis serta Islamofobia.
"Argumen pelarangan jilbab tidak ada hubungannya dengan pembebasan dan membantu wanita Muslim, ini adalah kelanjutan dari kekuatan kolonial Eropa yang menegaskan dominasi atas agama minoritas, yang mendorong rasisme dan memperkuat stereotip," kata Fatima.