Rabu 24 Feb 2021 05:03 WIB

Dakwah, Geneologi Spiritual, dan Perjuangan Trah Diponegoro

Geneologi Spiritual dan Perjuangan Trah Diponegaran

Pangeran Diponegoro mengenakan serban dan berkuda di antara para prajuritnya yang tengah berisitirahan di tepian Sungai Progo.
Foto:

Dikisahkan Kyai Gedhe Dadapan yang terlibat langsung dalam diskusi keagamaam di Balairung Ratu Ageng, selain melayani kebutuhan Ratu Ageng juga sering membacakan kitab-kitab keagamaan untuk Ontowiryo.

Setelah Ontowiryo menjadi santri di Mlangi di wilayahnya, dia juga yang bertugas mengurus segala kebutuhan Sang Pangeran selama mondok sebagai santri.

Kedekatan hubungan inilah yang akhirnya mempertemukan Sang Pangeran dengan puteri Kyai Gedhe Dadapan yang kelak menjadi istri pertamanya, yaitu Raden Ayu Retno Madubrongto, seorang wanita yang solehah dan sangat memahami jalan pikiran dan jalan hidup suaminya.

Dari perkawinannya inilah, Pangeran Diponegoro banyak bergaul dengan kaum ulama Pathok Negari, pesantren Mlangi dan para ulama Yogyakarta dan tanah Jawa yang kelak menjadi pendukung utama perang Jawa.

Raden Ayu Retno Madubrongto tidak pernah mengeluh walaupun sering ditinggalkan suaminya berkelana, bertapa untuk mencari makna sejati kehidupan. Bahkan diapun tidak pernah bertanya mengapa bukan dirinya yang diangkat sebagai isteri permaisuri oleh suaminya. 

Raden Ayu Retno Madubrongto wafat sebelum penyerbuan Belanda ke Tegalrejo. Tahun pastinya tidak diketahui. Tetapi beliau wafat sekitar tahun 1814.

Dari pernikahan ini lahirlah dua anak laki-laki yaitu Raden Mas Ontowiryo II / Diponegoro Anom yang mewarisi kharisma dan kepemimpinan ayahnya dan Raden Mas Dipoatmojo.

Raden Mas Ontowiryo ll lahir pada 1803, tahun wafatnya Ratu Ageng (17 Oktober 1803). Ketika perang Diponegoro dimulai dia telah berusia 22 tahun dan selalu setia menjadi pembela ayahnya. Sebagai putera tertua dan memiliki kesamaan pandangan dengan ayahnya maka dia dengan ikhlas mengangkat senjata mendampingi ayahnya. 

Nama bayinya adalah Raden Mas Muhammad Ngarip, dan kelak nama itu dia gunakan lagi ketika berada di wilayah Sumenep dengan sedikit perubahan yaitu Raden Mas Mantri Muhammad Ngarip. Dialah yang menulis buku Babad Diponegoro Suryongalam.

Ketika menginjak dewasa dan ayahnya telah menggunakan nama Diponegoro, dia mendapatkan gelar nama yang sama yaitu Ontowiryo II dan selanjutnya menggunakan nama Diponegoro II atau Diponegoro Anom.

Melihat usianya yang sudah mencapai 22 tahun pada saat perang Diponegoro dimulai, maka dapat dipastikan bahwa pada saat itu beliau sudah memiliki isteri dan memiliki beberapa anak. Kelak keturunan beliau yang lahir dan besar di tanah Jawa inilah yang akan menjadi generasi penerusnya sebagai pengganggu ketenteraman penjajah.

Sejak awal peperangan, Diponegoro Anom diserahi untuk menjaga dan melawan penjajah di wilayah Bagelen ke Barat bersama beberapa orang pilihan Pangeran Diponegoro di antaranya Tumenggung Danupoyo.

Taktik perang yang digunakan sama dengan ayahnya yaitu bergerilya dan berpindah-pindah. Area perjuangan Pangeran Diponegoro Anom ini mencapai wilayah Barat Banyumas, Temanggung dan Parakan. 

 

 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement