Rabu 24 Feb 2021 05:03 WIB

Dakwah, Geneologi Spiritual, dan Perjuangan Trah Diponegoro

Geneologi Spiritual dan Perjuangan Trah Diponegaran

Pangeran Diponegoro mengenakan serban dan berkuda di antara para prajuritnya yang tengah berisitirahan di tepian Sungai Progo.
Foto:

Di medan perang, Diponegoro Anom sering bekerja sama dengan Pamannya Sentot Prawirodirjo dan adik tirinya Raden Mas Singlon atau Raden Mas Sodewo di daerah Kulonprogo.

Ketika Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Menado, Diponegoro Anom menjalani pembuangan di Sumenep sampai 1834 sebelum akhirnya dibuang ke Ambon pada 1853.

Di Tlatah Banyumas Diponegoro Anom berputra Raden Mas Ali Dipawangsa yang dimakamkan bersama istri di Kedungparuk, Purwokerto.

Raden Mas Ali Dipawangsa memiliki empat orang putera, yaitu Raden Mas Suramenggala, Raden Mas Ali Diporudin yang dimakamkan di Kedung Paruk, Kyai Haji Raden Mas Muhammad Ilyas yang dimakamkan di Sokaraja, dan putera terakhir yang belum diketahui namanya yang menurunkan Mbah Abu Bakar.

Raden Mas Muhammad Ilyas adalah putra kedua RM Ali Dipawangsa. Sebelum pindah ke Sokaraja ia berdiam bersama sang Ayah di Kedung Paruk memperdalam ilmu agama. Sejak kecil, RM Muhammad Ilyas mengaji kepada orangtuanya, kemudian setelah beranjak dewasa, Ilyas remaja belajar agama di Surabaya kurang lebih 10 Tahun lamanya.

Beliau mengaji sama Kiai Ubaidah dan juga Kiai Abdurrohman. Dari keduanya, iRM Muhammad Ilyas mendapatkan sanad thoriqoh Naqsyabandiyah. Lalu, Muhammad Ilyas berangkat meningkatkan ilmu agamanya ke Makkah.

RM Muhammad Ilyas berguru dengan Syaikh Sulaiman az-Zuhdi dari Turki. Di Makkah ini, RM Muhammad Ilyas di gembleng menjadi seorang ahli ilmu agama selama kurang lebih 30 tahun lamanya.

Setelah itu, ia melanjutkan keguruannya ke Baghdad, di sana mengaji agama selama 10 tahun. Setelah dari Baghdad, RM Muhammad Ilyas pulang ke Banyumas dan kemudian berdakwah.

Ketika tinggal di Makkah, RM Muhammad Ilyas hidup prihatin. Ia selalu masak nasi sendiri yang dengan sengaja dicampuri pasir olehnya. Sewaktu hendak makan nasi, pasir itu satu persatu diambilnya dari sela-sela nasi yang ada di piringnya, baru kemudian ia makan. Hal itu dilakukannya untuk melatih kesabaran dan agar tidak rakus terhadap makanan.

Dikisahkan saat berguru di Makkah, anak angsa kesayangan sang Guru jatuh ke dalam jumbleng (tempat menampung tinja). Gurunya bingung, murid-murid lain pun bingung tak tahu harus berbuat apa. RM Muhammad Ilyas yang kemudian turun ke jumbleng untuk mengambil angsa itu. Sampai di atas, masih berlumuran tinja, Mbah Ilyas dipeluk oleh gurunya.

Ketika pulang dari Makkah, RM Muhammad Ilyas tiba di Jawa bersama tiga orang teman seperguruan lainnya, salah satunya adalah Mbah Sholeh Darat, Semarang. Namun yang diberi ijazah oleh Syekh Sulaiman Zuhdi (silsilah tarekat ke-32) untuk mengajarkan Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah hanyalah Mbah Ilyas dan satu orang teman Mbah Ilyas.

Awalnya RM Muhammad Ilyas menyebarkan ajaran tarekat dari langgarnya di Kedungparuk, namun sambutan luas masyarakat membuat pemerintah Belanda gerah, sehingga Mbah Ilyas ditahan pada 1888 dengan tuduhan melawan pemerintah.

Saat berada di penjara Belanda dekat Alun-alun Banyumas itu, pada malam harinya terlihat sinar terang keluar dari sel dimana RM Ilyas ditahan.

Syekh Abubakar, Penghulu Landraad Banyumas, kemudian datang ke penjara setelah mendapat laporan mengenai keanehan itu. Mengetahui bahwa yang dipenjara ternyata bukan orang biasa, akhirnya RM Muhammad Ilyas dikeluarkan dari penjara oleh Syekh Abubakar dengan syarat ia bersedia menjadi menantunya. 

Setelah bebas dari tahanan Belanda, RM Muhammad Ilyas kemudian pindah dan selanjutnya menetap di Sokaraja Lor dan meneruskan perjuangannya dalam mengembangkan ajaran tarekatnya. Hal itu disebabkan karena ia hanya diijinkan mengajar tarekat dari masjid wakaf mertuanya, yaitu Penghulu Landraat Syekh Abubakar, di Sokaraja Lor ini.

Kiai Haji RM Muhammad Ilyas wafat dan dimakamkan di Sokaraja Lor di belakang Masjid wakaf dari Syekh Abu Bakar dengan tembok hijau di belakangnya dengan tulisan yang berbunyi "Kyai Haji Raden Mas Muhammad Ilyas Bani P. Diponegoro" berdasar layang kakancingan angka 11553 yang dikeluarkan pada 18 September 1960 M oleh Pangageng Tepas Dwarapura Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sedangkan di bagian depan atas makam tulisan berbunyi "Makam Kyai Haji Muhammad Ilyas, Guru Mursyid, Toriqoh Annaqsyabandiyyah Al Mujaddadiyyah Al Kholidiyyah, Wafat 29 Shafar 1334 H", atau Senin 4 Januari 1916. Mursyid adalah guru pembimbing tarekat yang telah mendapat ijin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya dan bersambung sampai Nabi Muhammad SAW.

 

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement