Rabu 24 Feb 2021 05:03 WIB

Dakwah, Geneologi Spiritual, dan Perjuangan Trah Diponegoro

Geneologi Spiritual dan Perjuangan Trah Diponegaran

Pangeran Diponegoro mengenakan serban dan berkuda di antara para prajuritnya yang tengah berisitirahan di tepian Sungai Progo.
Foto: Gahetna.nl
Pangeran Diponegoro mengenakan serban dan berkuda di antara para prajuritnya yang tengah berisitirahan di tepian Sungai Progo.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Subhan Mustaghfirin, Penulis Sejarah dan tinggal di Yogyakarta.

Menurut sumber-sumber Belanda, Diponegoro digambarkan sebagai pria bertubuh gempal dan tingginya sedang. Namun, perawakannya tegap dan dia memiliki stamina yang luar biasa. “Diponegoro seperti terbuat dari besi,” kata salah seorang opsir Belanda De Kock. Diponegoro mempunyai daya magisnya sendiri yang kuat. Hal itu yang membuatnya tetap menawan di mata perempuan.

Peter Carey menambahkan, meski wajah Diponegoro tak setampan Arjuna, kharismanya tak dianggap sebelah mata oleh orang-orang Jawa. Tetapi meskipun Pangeran Diponegoro memiliki daya tarik besar dan merupakan pribadi yang hangat apabila berhadapan dengan lawan jenis, dia tak dikenal sebagai seseorang yang humoris. Orang-orang Eropa justru menilainya sebagai pribadi yang kaku dan menakutkan.

Pernikahan Pangeran Diponegoro yang pertama terjadi pada 1803 ketika beliau masih berusia 27 tahun dan nenetap di puri Tegalrejo. Sang Pangeran menikah dengan Raden Ayu Retno Madubrongto puteri kedua Kyai Gedhe Dadapan, seorang ulama terkemuka di desa Dadapan, perbatasan Kedu-Jogjakarta. Kyai Gede Dadapan adalah seorang kepala wilayah di Pathok Nagari (Batas Wilayah), sekaligus sebagai pengikut setia keluarga Sultan.

Kiai Gedhe Dadapan juga pernah menjadi salah satu pengasuh Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Kyai Gedhe Dadapan sering berkunjung dan menginap di lingkungan Puri Tegalrejo untuk menjalankan tugasnya mengantar kebutuhan Ratu Ageng. Pada saat itulah beliau sering ikut mengasuh Pangeran Diponegoro kecil yang masih bernama Ontowiryo (Antawirya).

Ratu Ageng, istri Hamengkubuwono I, adalah sosok perempuan tangguh yang mendampingi suaminya manakala bergerilya dalam Perang Mangkubumen sampai perjanjian Giyanti. Dia juga dikenal sebagai "Sufi Perempuan" yang memperdalam spiritualitas dan memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.

Itu karena Ratu Ageng merupakan cucu Kyai Datuk Sulaiman Bekel Jamus putra sulung Sultan Abdul Qohir Bima yang berguru di Giri, tempat dimana Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro juga berguru di Giri sebelum berdakwah ke Sulawesi dan Bima. 

Kyai Datuk Sulaiman Bekel Jamus memeristri putri Ki Ageng Wiroyudo dari Jawa Timur dan menurunkan Rara Widuri yang diperistri oleh Ki Derpayuda dari Mahangjati Sragen dari trah Janjeng Ratu Ma Sekar. Dia putra Pabembahan Hanyakrawati dan menurunkan Niken Lara Yuwati yang diperistri oleh Pangeran Mangkubumi, kemudian memilih keluar dari keraton dan menetap di Tegalrejo sehingga dikenal dengan Ratu Ageng Tegalrejo. 

Nyai Ageng Tegalrejo dikenal memiliki jiwa militer karena dalam darahnya mengalir gen Sultan Abdul Qahir, Bima. Di bawah komando Ratu Ageng, korps Prajurit Estri yang terdiri dari para pendekar perempuan, mengalami kemajuan.

Kelak, beberapa tahun menjelang Perang Jawa, korps Prajurit Estri peninggalannya ini membuat utusan negara Eropa melongo dan terkagum-kagum saat menyaksikan keterampilan para pendekar perempuan mengendarai kuda, melepaskan tembakan salvo, dan ketepatan membidik.

Korps Prajurit Estri Mataram konon telah ada sejak Retno Dumilah putri Pangeran Timur, yang mempertahankan Madiun dari serangan Mataram yang dipimpin Panembahan Senopati. Ide pendirian Korp Prajurit Estri kemungkinan terinspirasi dari ketangguhan sosok bibinya Ratu Kalinyamat yang banyak mengirim ekspedisi militer menghadapi Portugis di Malaka dan Maluku.

Konon Nyai Adisara (putri Sunan Prawoto) dan Retno Dumilah (cucu Sultan Trenggoni), dua istri Senopati mendapat latihan militer dari Jepara di usia mudanya). 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement