Senin 19 Jul 2021 12:00 WIB

Jejak Ulama Arab Penyebar Islam di Jawa di Selat Malaka

Menelusuri jejak Syekh dan Habib di Selat Malaka

Santri Jawa
Foto: Istimewa
Santri Jawa

IHRAM.CO.ID, -- Belasan kapal kargo raksasa tertambat di sekitar perairan Selat Malaka. Pada saat yang sama sejumlah kapal lainnya berlayar pelan menyusuri bagian laut perbatasan Indonesia dan Singapura.

Selat Malaka memang termasuk perairan terpadat di dunia. Jadi, tidak heran, sehamparan mata memandang, tampak kapal-kapal besar dengan segala hiruk-pikuknya.

Dan bila berlayar sedikit ke arah selatan, memasuki perairan Kota Batam, suasana akan terasa lebih tenang dan teduh. Suasana ini didapat dengan hanya berlayar sekitar 10 menit dari perairan internasional yang padat itu.

Di sana, kita akan dapati di Pulau Tulup. Pulau yang menyimpan jejak para ulama dalam menyebarkan Islam di Nusantara.

Ketika memasuki pantai pulua itu, tampak kapal berayun pelan saat mencium bibir Pulau Tulup yang sebenarnnya merupakan karang. Perahu kemudian bersandar di sisi pulau yang menghadap ke Indonesia, karena sisi yang menghadap Singapura berbukit tinggi menjulang.

Di Pulau Tulup memang tidak ada dermaga tempat naik dan turun penumpang. Ini kontras dengan pemandangan gedung-gedung pencakar langit Singapura yang tampak jelas dari sana. Pulau Tulup relatif kosong.

Begitu memasuki pulau, nampak tulisan besar 'Wisata Religius' menyambut pelancong dan peziarah. Juga terdapat masjid yang masih dalam tahap pembangunan.
 
Seorang penjaga pulau Tulup, Budi, menjelaskan, bila pembangunan masjid didukung oleh Yayasan Al Hikam yang memang peduli dengan pelestarian makam di tempat itu.
 
Ya, di Pulau Tulup Kecil terdapat dua makam syekh, yaitu Syekh Syarif Ainun Naim dan Syekh Maulana Nuh Maghrabi, sedangkan di Pulau Tulup Besar, terdapat makam Habib Hasan Al Musawa.
 
Keberadaan makam para syekh dan habib itu menggambarkan jejak para juru dakwah menyebarkan Islam ke berbagai penjuru negeri di Nusantara ini.
 
Dan sesuai anjuran pemandu, ziarah dimulai dari mengunjungi Syekh Syarif Ainun Naim, yang bergelar Sunan Thulub. Nama di sana ada hal yang berbeda dengan administrasi pemerintahan. Kalau di lokasi itu tertulis Thulubdi, pada catatan administrasi pemerintah tertulis Tulup.
 
"Beliau ini abang beradik dengan Sunan Giri," kata Budi.Dalam catatan, Syekh Syarif Ainun Naim kelahiran Samudra Pasai. Ada yang menyebut tokoh ini lahir pada 842 H dan wafat pada 908 H, dan ada pula versi yang menyebut dia lahir pada 761 H dan wafat pada 842 H.
 
Makam Sunan Thulub berada di atas bukit. Dari bibir pulau, hanya perlu sekitar 20 langkah untuk mencapai anak tangga pertama menuju bukit.Tangganya tinggi, dan mungkin akan membuat pengunjung terengah untuk mencapai puncaknya.
 
Namun, begitu kaki sampai pada tapakan tangga terakhir, perjuangan itu akan berbuah manis.Bukan hanya disuguhi pemandangan hamparan laut biru dan pulau-pulau di sekeliling, namun juga wewangian semerbak yang mampu meluruhkan seluruh letih yang hinggap.
 
Dan ajaibnya, saat itu tidak nampak satu pun bunga di tempat itu.Wanginya, seperti melati, hanya lebih tajam, tapi tidak membuat menyengat pada hidung. Sebaliknya, harum menenangkan, bisa membuat pengunjung terdiam, dan melafazkan syukur dan mengagungkan kebesaran Sang Pencipta.
 
Menuju makam, pengunjung harus melalui jalan setapak selebar sekitar 1,5 meter. Di sebelah kiri dan kanannya jurang.Di ujung bukit, terdapat bangunan beratap biru. Di sanalah terdapat makam Wali Allah, Syekh Syarif Ainun Naim, yang sudah dipugar dan dipasang kain kiswah.
 
Bangunan makam berupa seperti rumah lengkap dengan lantai keramik. Maka peziarah dapat nyaman berada di lokasi itu.
 
Sayang, belum banyak literatur mengenai Syekh Syarif Ainun Naim yang dapat ditemukan, khususnya mengenai perjuangannya menyebarkan Islam, hingga wafat dan dimakamkan di Pulau Thulub, Kota Batam.
 
Dan, masih di pulau yang sama, pelancong dapat melanjutkan ziarah ke makam Syekh Maulana Nuh Maghribi yang terdapat di bawah bukit.Makam Syekh asal Maroko itu berada di bibir pulau berkarang itu. Agar tidak terendam air laut saat pasang, maka warga memugarnya dan meninggikan bangunan makam.
 
Warga juga membangun semacam penahan ombak agar tidak masuk hingga ke dalam makam.
 
Menurut cerita Budi, Syekh Maulana Nuh Maghrobi adalah mata-mata Kerajaan Abbasiyah yang datang menyamar sebagai pedagang, kala itu. Namun kapalnya karam, sehingga ia sempat menetap dan wafat di sana pada 427 H.
 
"Dulu ada kampung di sini. Pulau Tulup Besar dan Tulup Kecil menjadi satu," kata dia.Makam Syekh Maulana Nuh Maghribi diapit dua pohon setigi yang juga sudah berusia ratusan tahun.
 
"Khasiat pohon ini antiracun," kata Budi.Meski memiliki khasiat bagus, namun bagian pohon dilarang dibawa ke luar pulau.
 
Dalam kesempatan itu, Budi tidak banyak menceritakan makam Habib Syeh Hasan Al Musawa yang berlokasi di Pulau Tulup Besar, di seberang Pulau Tulup Kecil."Dia adalah Arab, asli kelahiran Arab," kata Budi yang tinggal bersama istri dan anaknya di Pulau Tulup Kecil.
 
Camat Belakang Padang, Kota Batam, Yudi Admaji, mengatakan Pulau Tulup masuk Kelurahan Sekanak Raya, yang merupakan pulau terluar NKRI yang berpenghuni.
 
Pemerintah, kata dia, ingin mengembangkan wisata sejarah di pulau itu."Beliau penyebar Islam dari Pasai menuju Jawa. Pulau ini berada di belakang jalur pelayaran internasional," kata dia. Maka, ia mengajak masyarakat untuk datang berwisata ziarah ke Pulau Tulup, yang memang sarat sejarah.
 
Selain itu, ia juga mengajak masyarakat turut melestarikan keberadaan pulau dengan menanam pohon di sana, karena memang rawan longsor."Setiap peziarah bisa menanam pohon apa saja di sini, sebagai kenang-kenangan. Dalam Islam, menanam pohon itu baik, tujuannya untuk anak cucu, sehingga pulau ini tidak hilang, tergerus saat angin barat dan utara," kata dia.
 
Ia berharap pulau itu bisa lebih dikenal oleh masyarakat."Silahkan masyarakat datang berziarah, sekaligus sama-sama merawat Pulau Tulup," kata dia.
 

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement