Kamis 14 Jan 2021 14:41 WIB

Wafatnya Ulama Adalah Musibah

Wafatnya ulama berarti hilangnya pewaris Nabi.

Syekh Ali Jaber memberikan tausyiah pada acara Milad Yayasan Nuurun Nisaa di Cihanjuang, Kabupaten Bandung Barat, Rabu (11/10). Dalam pertemuannya tersebut, Syekh Ali Jaber berencana memberangkatkan Umrah Muhammad Al Gifari atau yang akrab disapa Akbar dan mengangkatnya menjadi anak angkat. Foto: Abdan Syakura/Republika
Foto:

Bagaimana Sikap Kita Seharusnya memaknai wafatnya ulama?

Apakah dengan bergaya lebay seperti orang-orang yang kehilangan artis idola?

Benar, bahwa wafatnya ulama adalah bermakna kebocoran dalam agama, sebagaimana dalam hadits yang disebutkan diatas. Bahkan kebocoran ini tidak bisa ditambal sepanjang masa, sebagaimana diungkapkan seorang sahabat Nabi bernama Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anh,

موت العالم ثُلْمَة في الإسلام لا يسدُّها شيء ما اختلف الليل والنهار

"Kematian seorang ulama adalah kebocoran di dalam Islam dan tidak bisa ditutup meskipun malam dan siang datang silih berganti”.

Namun, apakah dengan melampiaskan duka cita tanpa memikirkan solusinya adalah bukti kita bersedih atas wafatnya ulama dengan kesedihan yang sesuai dengan aturan agama?

Sayyidina Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anh memberikan solusinya,

ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺎﻟﻌﻠﻢ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺮﻓﻊ ﻭﺭﻓﻌﻪ ﻣﻮﺕ ﺭﻭﺍﺗﻪ، ﻓﻮﺍﻟﺬﻱ ﻧﻔﺴﻲ ﺑﻴﺪﻩ ﻟﻴﻮﺩّﻥّ ﺭﺟﺎﻝ ﻗﺘﻠﻮﺍ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺷﻬﺪﺍﺀ ﺃﻥ ﻳﺒﻌﺜﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﻟﻤﺎ ﻳﺮﻭﻥ ﻣﻦ ﻛﺮﺍﻣﺘﻬﻢ، ﻓﺈﻥ ﺃﺣﺪﺍ ﻟﻢ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﺘﻌﻠﻢ

“Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu, sebelum ilmu tersebut diangkat/dihilangkan. Hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya para periwayatnya/ulama. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai syuhada, mereka sangat menginginkan agar Allah membangkitkan mereka dengan kedudukan seperti kedudukannya para ulama, karena mereka melihat begitu besarnya kemuliaan para ulama. Sungguh tidak ada seorang pun yang dilahirkan dalam keadaan sudah berilmu. Ilmu itu tidak lain didapat dengan cara belajar .”

Iya, kesedihan yang benar itu adalah dengan cara kita menyiapkan diri kita untuk juga menjadi pengemban warisan ulama, pelanjut estafet mempertahankan keberlangsungan transfer ilmu agama. Kita harus menyiapkan generasi selanjutnya agar jangan terjadi kekosongan ulama.

Hal inilah yang dimaksud Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, sebagaimana dikutip Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya,

إذا مات العالم ثلم في الإسلام ثلمة لا يسدها الا خلف منه

Jika satu ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam yang tak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya.

Kita harus mengambil ilmu sebelum ia pergi seluruhnya. Selagi masih ada ulama-ulama lain yang tersisa, kita harus manfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk belajar kepada mereka. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa aalihi sallam,

خُذُوا الْعِلْمَ قَبْلَ أَنْ يَذْهَبَ، قَالُوا : وَكَيْفَ يَذْهَبُ الْعِلْمُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ، قَالَ:إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ

“Ambillah (pelajarilah) ilmu sebelum ilmu pergi!” 

Sahabat bertanya, “Wahai Nabiyullah, bagaimana mungkin ilmu bisa pergi (hilang)?” 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, 

إِنَّ ذَهَابَ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ 

“Perginya ilmu adalah dengan perginya (wafatnya) orang-orang yang membawa ilmu (ulama)”

Inilah cara memaknai kesedihan ditinggal wafat ulama yang sesuai dengan ajaran agama kita. Bukan seperti orang-orang yang kehilangan artis idola. Seorang bijak pernah mengatakan, “It’s better to light a candle than curse the darkness”, menyalakan lilin lebih baik daripada mengutuk kegelapan.

 

Muga urang sadayana sing diraksa ku Allah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement