REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama mengimbau masyarakat agar tidak curiga dan syak wasangka dalam menyikapi rencana program kegiatan dai dan penceramah agama bersertifikat dengan. Kemeneg menilai sikap itu dapat menimbulkan salah paham yang berujung pada polemik yang tidak produktif.
Wakil Menag Zainut Tauhid menjelaskan program da'i dan penceramah bersertifikat adalah program biasa yang sudah sering dilakukan oleh ormas-ormas Islam atau lembaga keagamaan lainnya. Ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas dai dan penceramah agama agar memiliki bekal dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
"Seorang dai dan penceramah agama, misalnya perlu dibekali ilmu psikologi massa, public speaking , metode ceramah sesuai dengan perkembangan zaman dan juga pemahaman islam wasathiyah atau moderasi beragama serta pemahaman wawasan kebangsaan," papar Zainut dalam pesan yang diterima Republika, Senin (7/9).
Dalam pelaksanaan program tersebut ,Kemenag bekerja sama dengan majelis dan ormas keagamaan, seperti MUI, PGI, KWI, PHDI, Walubi/Permabudhi, Matakin, NU, Muhammadiyah dan ormas keagamaan lainnya. Kementerian Agama bertindak sebagai fasilator dan pendampingan program dengan memberikan dukungan anggaran stimulan, tenaga dan instrumen lain yang dapat mendorong lahirnya partisipasi masyarakat.
Kemenag memberikan apresiasi kepada ormas atau kelompok masyarakat yang sudah melaksanakan program tersebut. Menurut Zainut, diharapman ada sinergi progam ormas-ormas agama dengan Kemenag agar lebih maksimal pelaksanaannya.
"Program dai dan penceramah bersertifikat sifatnya voluntary atau suka rela bukan menjadi sebuah keharusan, sehingga tidak ada alasan akan menjadi ancaman bagi dai dan penceramah agama yang tidak mengikutinya, karena tidak ada sanksi apa pun yang akan diberikan kepadanya," jelas Zainut.
Adapun terkait dengan penanggulangan radikalisme yang menjadi tujuan dari program tersebut, jelas Zainut, yang dimaksud dengan paham radikal adalah paham yang memenuhi tiga unsur.
Pertama paham yang menistakan nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, paham yang mengingkari nilai-nilai kesepakatan nasional misalnya Pancasila, UUD NRI Tahun 1945 NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Dan ketiga paham yang menolak kebenaran paham orang lain, menganggap hanya kelompoknya yang paling benar sementara orang lain sesat atau kafir.
"Jadi setiap dai dan penceramah agama harus terbebas dari unsur paham radikal tersebut karena dapat mengancam eksistensi Pancasila, NKRI, persatuan dan kesatuan bangsa," ujar Zainut menutup.