Sabtu 22 Aug 2020 01:25 WIB

Semangat Hijrah di Tahun Baru Hijriyah

Tahun baru Hijriyah harus didukung semangat hijrah.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Hafil
Semangat Hijrah di Tahun Baru Hijriyah. Foto: Ilustrasi peristiwa hijrah.
Foto: republika.co.id
Semangat Hijrah di Tahun Baru Hijriyah. Foto: Ilustrasi peristiwa hijrah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Tahun baru Hijriyah bukan sekedar mengganti kalender tetapi mesti menjadi spirit untuk berhijrah kepada yang lebih baik. Misalkan tadinya kita lemah iman menjadi kuat iman dan awal kita lalai dalam mengingat Allah menjadi selalu ingat Allah dan semua berpindah kepada yang lebih baik.

"Jadi tahun baru Hijriyah ini bukan sekedar ganti kalender, tap justru ada semangat hijrah Nabi dan para sahabat yang terkandung di dalamnya," kata Ustaz Ahmad Zarkasih dalam bukunya Muharram Bukan Bulan Hijrahnya Nabi.

Baca Juga

Semangat hijrah mesti tertanam dalam hati setiap Muslim seperti hal Syaidina Umar bin Khattab merumuskan penanggalan Hijriyah dari semangat hijrah Nabi Muhammad saw setelah kaum muslim membaiatnya. Tahun baru Hijriyah jangan biarkan berlalu tanpa makna.

"Dan itu semua adalah bagian dari syiar-syiar agama Allah SWT," ujarnya.

 

Semangat dalam syiar Islam sesuai surah al-Hajj ayat 32 yang artinya.

"Barang siapa yang mengagungkan syiar-syiarAllah, sesungguhnya itu tumbuh ketaqwaan hati (seorang hamba)"

Tentu kata Ustaz Ahmad Zarkasih, kita tidak bisa menutup mata bahwa ada kelompok muslim lain yang menginkari perayaan-perayaan semacam ini. Mereka melihat bahwa melakukan perayaan tersebut apapun bentuknya termasuk dari menga-ngada dalam syariah yang sejatinya syariah tidak mencontohkan itu.

Toh sejak kalender Hijriyah diresmikan, para sahabat yang merupakan generasi terbaik tidak pernah melakukan perayaan jika masuk awal tahun baru. Ada juga dari mereka yang mengatakan perayaan tersebut adalah bid'ah yang jelas keharamannya.

"Apalagi dalam Islam hari raya itu hanya ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Tidak ada yang ketiganya, apalagi keempat dan seterusnya," katanya.

Tentunya, mereka yang merayakan beragumen, dan meyakini pergantian tahun Hijriyah itu bukan hari raya tapi ini adalah momen yang mengandung syiar Allah swt yang sebagai seorang muslim hendaknya menghormati dan

mengagungkannya.

Sebodoh apapun orang muslim, mereka semua meyakini bahwa yang namanya hari raya Islam adalah hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Mereka tidak meyakini tahun baru Hijriyah itu sebagai hari raya, dan mereka hanya memperingati momen bersejarah ini, tidak sampai tertancap dalam diri dengan keyakinan bahwa itu adalah hari

raya.

"Tidak ada.Tapi apapun itu, perbedaan semacam ini sudah ada sejak lama," katanya.

Ustaz Ahmad Zarkasih menyarankan, sekarang yang mesti dilakukan bukanlah memperuncing perbedaan itu semua, karena sama sekali tidak ada manfaat dan hanya buang-buang energi. Yang mesti dilakukan sekarang ialah saling menghormati saja satu dan lainnya.

"Bagi yang merayakan hendaknya mengisi perayaannya dengan sesuatu yang positif bukan hura-hura serta kemaksiatan," katanya.

Kalaupun diisi dengan acara tabligh akbar, hendaknya penceramah membakar semangat audiens dengan sangat hijrahnya Nabi dan para sahabat, bukan malah mengisi dengan hujatan dan provokasi kepada mereka yang tidak merayakan.

Begitupun yang melarang perayaan ini pula mestinya berbesar hati dan berlapang dada kalau ada yang merayakan. Jangan sampai ada hujatan dan hinaan serta julukan-julukan yang tidak semestinya keluar dari mulut seorang muslim.

"Saling menjaga keharmonisan tentu akan jauh lebih baik. Memperuncing perbedaan tidak akan membuat masalah itu selesai," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement