Kamis 26 Mar 2020 08:55 WIB
Perang Aceh

26 Maret 1873: Perang Aceh Dimulai

Kisah awal perang Aceh

Pembantaian penduduk di Gayo Alas dalam Perang Aceh. pemimpin pembantaian itu adalah Van Daalen.
Foto:

Kesempatan emas itu pun tiba. Pada 1871 terjadi insiden pemblokadean terhadap kapal-kapal Belanda oleh armada kapal Simpang Ulim di pelabuhan Idi. Belanda membubarkan blokade tersebut dan menahan kapal Gipsy milik Teuku Paya, orang yang berseteru dengan penguasa Idi. Pemblokadean kapal-kapal Belanda di Idi yang kabarnya direstui oleh Sultan Aceh ini disebabkan ketidakloyalan penguasa Idi, yaitu Tengku Chik. Berbeda dengan Idi, penguasa Simpang Ulim, Teuku Muda Nyak Malim dikenal sebagai muslim taat yang menghukum mati pemakai candu. Teuku Muda Nyak Malim bersikap loyal pada Sultan Aceh.

Idi dan Simpang Ulim adalah dua wilayah yang baru tumbuh secara pesat dan saling bersaing di bawah kekuasaan Aceh lewat ekspor ladanya. Penguasa Idi menginginkan lepas dari kekuasaan Aceh sehingga dapat memiliki kekayaan seperti Sultan Deli di bawah perlindungan Belanda. Maka sejak 1869 Idi menolak membayar pungutan kepada Sultan Aceh.

Kapal Simpang Ulim kemudian memeriksa kapal-kapal Belanda di pelabuhan Idi sehingga membuat Belanda melihat sebuah kesempatan emas. Di sini Belanda dapat ikut campur dalam politik Aceh sehingga dapat bermain politik seperti yang mereka lakukan di Siak. Kapal perang Belanda, Marnix segera menuju Idi atas restu Raad van Indie. Dewan tersebut menilai hukum internasional tidak berlaku pada negara-negara seperti Aceh. Meski tak berhasil menemukan kapal Belanda di Pelabuhan Idi, Marnix segera mengusir armada Simpang Ulim dari Idi.Menurut M. Said dalam Aceh Sepanjang Abad jilid 2, Marnix menggiring kapal Simpang Ulim tersebut hingga ke Labuhan Deli, Sumatera Timur.

Hasil gambar untuk Perang Aceh

Hal ini tentu saja menggusarkan Aceh. Armada Simpang Ulim ini awalnya sebuah kapal bernama Gipsy yang dimiliki oleh Teuku Paya. Ia kemudian menambahkan beberapa pucuk meriam pada Gipsy dan mengganti namanya menjadi Simpang Ulim. Teuku Paya sendiri kelak akan dikenal sebagai salah satu tokoh yang menjadi penyokong logistik untuk membiaya perang Aceh.

Muslihat di Belakang Delegasi

Ironisnya insiden pengusiran kapal Simpang Ulim ini terjadi saat kunjungan delegasi Belanda ke Aceh pada September 1871. Delegasi Belanda dengan kapal perang Djambi ini menghabiskan waktu 12 hari di Aceh. Kapal ini berangkat dari Padang pada 7 September 1871 dan tiba di Banda Aceh Darussalam. Setelah sempat beberapa hari terlunta-lunta di pelabuhan Aceh, utusan Belanda, Kontrolir Kraijenhoff akhirnya diterima di Istana pada 30 September 1871. Belanda meminta jaminan berdagang kepada Aceh dan kapal-kapalnya bebas keluar masuk di pelabuhan di wilayah Aceh dan menghendaki penempatan pagawainya di manapun mereka kehendaki.

Kapal Perang Djambi. Sumber foto: maritiemdigitaal.nl

 

Habib Abdurrahman Az-Zahir menjelaskan bahwa Aceh hidup damai dengan Inggris, Perancis dan Turki, sedangkan Belanda meski mengakui sebagai sahabat Aceh, kenyatannya merebut wilayah Aceh di Pantai Barat dan Timur Aceh. Habib Abdurrahman Az Zahir menanyakan sikap Belanda terhadap kemerdekaan Aceh. Pertanyaan in dijawab oleh Kraijenhoff bahwa ia tak berhak menjawab hal itu karena mandatnya hanya sebatas pembicaraan kebebasan perdagangan. Abdurrahman Az-Zahir kemudian meminta Kraijenhoff untuk menjemput mandat tersebut ke Batavia.

 

  • Habib Abdurrahman az-Zahir. Sumber foto: Wikimedia

Meski demikian, menurut Anthony Reid, pembicaraan berakhir baik, Kraijenhoff diberikan kesempatan melakukan kunjungan kehormatan di hadapan Sultan, kemudian Belanda dan Aceh bertukar cinderamata. Kraijenhoff sendiri yakin bahwa persahabatan dengan Aceh telah dipulihkan. Tentu saja keyakinan Kraijenhoff sekedar harapan belaka. Kenyatannya, pasca insiden di Idi, penguasa Idi kemudian mengirim dua utusan ke Riau untuk bertemu dengan Residen Belanda di Riau. Kedua utusan tersebut mendapat perintah untuk menerima kedaulatan Belanda dalam sebuah perjanjian pertahanan.

Belanda sendiri mencoba mengklarifikasi insiden pengusiran armada Simpang Ulim dengan mengirimkan kembali Kraijenhoff dan Residen Belanda di Riau, D.W. Schiff sebagai delegasi ke Aceh. Mereka tiba di Banda Aceh Darussalam pada 22 Mei 1872. Secara resmi mereka membawa surat untuk Habib Abdurrahman Az-Zahir. Meski demikian, delegasi tersebut pulang dengan kegagalan.

Mereka tak bertemu dengan Habib Abdurrahman Az-Zahir yang sedang pergi ke Barat Aceh dan Panglima Tibang yang sedang ke Penang. Pejabat Aceh yang otoritatif, Teuku Kali Malikul Adil tak mau menemui mereka dan mengatakan surat untuk Habib tidak akan dibuka oleh siapa pun kecuali Habib sendiri. Kraijenhoff sebenarnya tak pulang dengan tangan hampa. Selain menyampaikan surat, mereka juga melakukan pemantauan terhadap tempat-tempat strategis di Aceh.

Kraijenhoff kembali melakukan kunjungan ketiganya ke Aceh pada bulan Oktober 1872. Tetapi saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan sehingga otoritas Aceh menolak untuk mengurus apa pun selama bulan Ramadhan dan menyarankan agar mereka kembali pada 6 Syawal 1289 (7 Desember 1872). Kraijenhoff akhirnya hanya menyerahkan surat pada Teuku Kali. Sebuah surat yang sampai dalam situasi yang sudah memburuk. Kunjungan yang ketiga ini sebenarnya disetujui oleh Gubernur Jenderal James Loudon dan mengingatkan agar tidak dilakukan satu tindakan apa pun soal Aceh sampai ada laporan dari utusan tersebut. Tetapi peringatan Loudon ini terlambat sampai pada Residen Riau, Schiff.

Schiff melakukan satu tindakan yang sangat kontroversial pada bulan September 1872, di tengah bara yang sedang memanas. Ia kembali memerintahkan kapal Marnix agar menahan kapal Gipsy milik Teuku Paya karena mendengar kabar bahwa pelabuhan Idi kembali diblokade oleh Gipsy. Hal ini tentu menimbulkan kegemparan di Istana Aceh. Keputusan akhirnya dibuat. Mereka memutuskan menangguhkan menerima utusan Belanda sampai mendapat kepastian tentang dukungan yang di dapat dari luar negeri.

Panglima Tibang diutus untuk menemui Residen Riau, Schiff guna menyampaikan surat penangguhan selama enam bulan tersebut. Selain menemui Schiff, Tibang juga diutus melakukan aksi mencari dukungan dari pihak lain di luar negeri. Jika Habib Abdurrahman Az-Zahir diutus mencari dukungan ke Turki, maka Tibang diutus untuk menemui konsul Perancis, Italia, Spanyol dan Amerika di Singapura guna mencari dukungan bagi Aceh.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement