Senin 19 May 2025 14:55 WIB

Kisah Mualaf Amerika, Pernah Emosi Hingga Hampir Mengebom Masjid

Inilah kisah mantan marinir Amerika Serikat menemukan hidayah.

Richard McKinney kini aktif dalam pelbagai kegiatan dakwah Islam di Indiana, AS.
Foto: dok instagram
Richard McKinney kini aktif dalam pelbagai kegiatan dakwah Islam di Indiana, AS.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada suatu hari Jumat di tahun 2009, Richard “Mike” McKinney tidak lagi mampu menahan diri. Mantan marinir Amerika Serikat (AS) itu memboyong beberapa bahan peledak (improvised explosive device, IED) dari rumahnya.

Dengan mengendarai mobil, lelaki bertubuh tegap itu langsung menuju Masjid Islamic Center of Muncie di Indiana, AS. Tujuannya adalah mengebom masjid tersebut dan sekaligus “menghabisi” seluruh Muslim di sana.

Baca Juga

Murka sebesar itu ternyata dipicu persoalan sepele. Satu hari sebelumnya, Mike melihat putri kesayangannya, Emily, pulang dari sekolah. Segalanya tampak biasa-biasa saja, hingga ketika anak perempuannya itu menuturkan pengalamannya.

Emily bercerita, dirinya suatu hari diajak untuk datang ke rumah seorang kawannya. Sesampainya di sana, tampaklah ibu temannya itu mengenakan niqab.

"Jadi mereka adalah orang Muslim!?” tanya Mike dengan nada tinggi.

“Entahlah, tapi mereka ramah dan baik padaku,” jawab Emily singkat.

Berkali-kali, Mike menyuruh anak perempuannya itu agar jangan lagi dekat-dekat dengan kawannya tersebut. Tentu saja, Emily heran.

Bagaimana menghakimi baik atau buruknya orang dari busana yang mereka pakai? Kalaupun mereka beragama Islam, lantas apa masalahnya?

Hingga malam hari, Mike tidak bisa tidur. Ia merasa cemas kalau putrinya akan dipengaruhi orang-orang “asing” itu. Mimpi buruk terbesarnya adalah, Emily akan menjadi Muslim.

Itulah yang mendorongnya untuk mempersiapkan “bom rumahan”, untuk kemudian diledakkan di tengah jamaah Masjid Islamic Center Muncie. Persiapan dilakukannya dengan rapi. Mantan marinir ini seolah-olah hendak berangkat ke medan pertempuran.

Tibalah ia di masjid tersebut. Siang itu, tempat ibadah Muslimin ini tampak cukup ramai. Beberapa jamaah masih berada di sana, sesudah menunaikan shalat Jumat. Beberapa orang melihat Mike turun dari mobil dengan memakai jas tebal dan ikat kepala.

Untuk sesaat, di pikiran Mike terlintas kata-kata putrinya: “Setiap orang tidak dilahirkan dengan prasangka, rasisme, atau kebencian.” Karena itu, ia sempat mengurungkan niatnya untuk langsung melempari masjid ini dengan “bom” buatan.

Tidak ingin kedatangannya sia-sia, Mike memilih untuk memasuki bangunan Islamic center ini. Mulanya, ia merasa aneh. Pemandangan setempat tampak biasa saja. Tidak ada di sana, umpamanya, spanduk-spanduk semboyan “anti-Amerika” atau “dukungan pada al-Qaeda”—seperti yang selama ini dibayangkannya.

Di dalam masjid itu, ia berdiri saja. Dirinya sedikit gugup karena merasa sebagai satu-satunya non-Muslim di sana. Beberapa lama kemudian, seorang jamaah menghampirinya dan berkata, “Apakah ada yang bisa saya bantu?”

Tidak tahu harus menjawab apa, Mike pun menyahut, “Saya ke sini karena ingin tahu tentang Islam.”

Inilah yang mengawali momen kesadarannya. Oleh jamaah tersebut, Mike dipersilakan untuk duduk dan menunggu. Beberapa saat kemudian, lelaki itu datang dengan seorang dai yang biasa mengimami shalat jamaah di masjid tersebut.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement