Senin 03 Feb 2020 09:45 WIB

Gus Sholah, NU, dan Standardisasi Pendidikan Pesantren

Indonesia kehilangan Gus Sholah, tokoh pendidikan inklusif.

Santri memaknai kitab kuning di masjid Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur.
Foto:

Satu lagi kiprah, peran, dan jasa penting dari almarhum Gus Sholah yang kelahiran Jombang pada 11 September 1942 itu adalah ketika Pesantren Tebuireng menjadi tuan rumah Muktamar Ke-33 NU pada saat NU sudah memiliki pasang-surut pengalaman dalam politik praktis. Paling tidak, muktamar di Jombang itu menandai perjuangan ormas dengan 91,2 juta lebih umat (survei LSI, Januari 2013) itu untuk fokus kepada umatnya, baik dalam pendidikan maupun ekonomi agar menjadi kekuatan keagamaan/kebangsaan seperti era Walisongo.

Dalam konteks itulah, Gus Sholah merupakan salah satu pejuang Khitah NU 1926 bersama almarhum K.H.A. Hasyim Muzadi, yang dua-tiga hari menjelang wafat pun masih sempat menulis untuk NU di media massa tentang "94 tahun NU" dengan pesan pentingnya tentang Khitah NU 1926.

"Saat-saat kesehatannya sudah menurun, beliau menulis dengan menggunakan ponsel. Beliau sangat menaruh perhatian pada masalah pendidikan di pesantren yang diasuhnya. Tulisan beliau sangat banyak sekali (memuat) nilai-nilai kebangsaan," kata putra almarhum, Ipang Wahid.

Ya, Gus Sholah yang pernah menjabat Wakil Ketua Komnas HAM, anggota MPR pada awal reformasi (1998), dan sempat menjadi kandidat wakil presiden bersama Jenderal Wiranto (Pilpres 2004) itu sangat menaruh perhatian pada masalah-masalah kebangsaan, khususnya NU. Oleh karena itu, muktamar di Jombang pada 2015 itu pun merumuskan kembali Khitah NU 1926 sebagai standardisasi NU untuk kembali kepada orientasi pendidikan, ekonomi, dan dakwah, sebagaimana perjuangan awal NU menjelang pendiriannya pada 31 Januari 1926.

Tidak hanya itu, Muktamar Jombang (2015) itu juga melahirkan keputusan terkait Khitah NU dalam bidang dakwah, yakni rumusan Islam Nusantara sebagai strategi dakwah ala NU yang saat ini justru banyak diperdebatkan secara tekstual dengan anggapan Islam Nusantara. Gus Dur menyebut nya sebagai Islam Ramah sebagai paham baru yang menyimpang dari Islam Rahmatan Lil Alamin.

Padahal, ahli fikih/syariat UINSA Surabaya K.H. Abdurrahman Navis menilai agama itu memiliki wilayah mahdhah (baku) dan ghoiru-mahdhah"(nonbaku). Islam Nusantara/Islam Ramah itu tidak jauh dari strategi dakwah yang rumusannya ala Walisongo, yakni dakwah yang menyerap unsur lokal (Nabi bilang "kamu lebih tahu "duniamu").

Ibarat jual kopi, ada yang pakai cara daring, ada yang cara warung, dan sebagainya. Jadi, barang yang dijual sama, yakni kopi. Akan tetapi, cara menjualnya beda strategi. Faktanya, dakwah ala Islam Nusantara itu terbukti mampu memosisikan pemeluk Islam mencapai di atas 95 persen, sedangkan dakwah 'sok' syariat justru membuat pemeluk Islam kini turun di bawah 87 persen (Din Syamsudin, 2014), karena Muktamar 2015 itu NU kembali menyuarakan Islam Rahmatan Lil Alamin dalam kekhasan Nusantara.

Ya, almarhum Gus Sholah meninggalkan dua pesan terakhir, yakni pentingnya standardisasi pendidikan pesantren (nonfisik/ukuran kualitas) melalui uji kompetensi ustaz/ustazah dan standardisasi NU melalui Khitah NU 1926 (kembali kepada orientasi pendidikan, ekonomi, dan dakwah, termasuk menyuarakan kembali strategi dakwah ala Islam Nusantara). Semoga, pesan Khitah NU 1926 dalam berbagai bidang itu akan menjadi pembahasan Muktamar NU 2020.

"Kontribusi penting lain, beliau menjelang wafat telah mengupayakan terbentangnya 'jembatan komunikasi' antara dua ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah melalui kerja sama antara Pesantren Tebuireng dengan Lembaga Seni Budaya dan Olahraga PP Muhammadiyah untuk menggarap film Jejak Langkah Dua Ulama yang mengisahkan pendiri NU dan Muhammadiyah, yakni Mbah Hasyim Asy'ari dan Kiai Ahmad Dahlan," kata tokoh muda NU Ulil Abshar Abdalla.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement