Senin 03 Feb 2020 09:45 WIB

Gus Sholah, NU, dan Standardisasi Pendidikan Pesantren

Indonesia kehilangan Gus Sholah, tokoh pendidikan inklusif.

Santri memaknai kitab kuning di masjid Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur.
Foto: Antara/Syaiful Arif
Santri memaknai kitab kuning di masjid Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Di tangan almarhum K.H. Salahuddin Wahid (77 tahun) atau akrab disapa Gus Sholah, Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur mengalami perkembangan fisik dan nonfisik yang signifikan. Gus Sholah wafat karena penyakit jantung pada Ahad (2/2) pukul 20.55 WIB.

Ketika perjumpaan terakhir penulis dengan almarhum di sela-sela Muktamar NU di Jombang pada 2015, kondisi salah satu pesantren tua di Indonesia itu terlihat beda dari sebelumnya karena sentuhan Gus Sholah yang lama 'hidup' di Jakarta.

Ya, almarhum yang juga adik kandung mantan presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu telah melakukan perkembangan signifikan untuk pesantren yang didirikan kakeknya yang pendiri organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama (NU) itu. "Pesan terakhir beliau adalah terkait dengan Tebuireng, terkait dengan masalah pendidikan," kata putra Gus Sholah, Irfan Asy'ari Sudirman Wahid atau Ipang Wahid, kepada wartawan di RS Harapan Kita, Jakarta Barat, Ahad (2/2) malam.

Kendati tidak memerinci, pesan almarhum untuk pendidikan pesantren yang dicontohkan dalam sentuhan Gus Sholah pada Pesantren Tebuireng adalah manajemen fisik dan nonfisik yang mendorong kemajuan pesantren pada era Revolusi Industri.

Secara fisik, almarhum yang 'arsitektur' (ITB) itu banyak membangun pesantren peninggalan sang kakek melalui kerja sama sejumlah kolega Jakarta. Oleh karena itu, Pesantren Tebuireng kini memiliki Aula H.M. Jusuf Kalla, Aula K.H. Saifuddin Zuhri (K.H. Saifuddin Zuhri adalah mertua almarhum), dan sebagainya. Tidak hanya fisik, almarhum juga mengembangkan pesantren secara nonfisik melalui standardisasi bagi ustaz/ustazah atau kompetensi guru sesuai dengan bidang studi yang diampu sehingga kualitas pendidikan (nonfisik) di Pesantren Tebuireng kini menjadi terukur.

photo
Jenazah KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah saat akan meninggalkan rumah duka di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta, Senin (3/2). Jenazah almarhum Gus Sholah diberangkatkan ke Lanud Halim Perdana Kusuma untuk disemayamkan di Pondok Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. (Republika/Putra M. Akbar)

Gus Sholah yang sempat menjalani pendididikan di SMP Negeri 1 Cikini, Jakarta, dan SMA Negeri 1 Jakarta itu telah memberi warna manajemen pendidikan di Tebuireng, khususnya pada MTs, MA, SMP, SMA, hingga Universitas Hasyim Asy'ari (Unhasy) atau IKAHA itu. Selain itu, Gus Sholah secara nonfisik juga banyak menanamkan pendidikan kebangsaan (pendidikan inklusif) kepada alumni Pesantren Tebuireng. Almarhum berperan nyata almarhum dalam mencerdaskan bangsa dari sisi akademis, kebangsaan, dan juga agama.

"Beliau memberikan bekal kepada generasi berikutnya menjadi lulusan terbaik, sekaligus menjadi Muslim yang menghormati sesama," kata pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Totok Bintoro saat dihubungi Antara di Jakarta, Ahad (2/2) malam.

Oleh karena itu, meninggalnya Gus Sholah menjadikan Indonesia telah kehilangan tokoh pendidikan inklusif yang tidak hanya menyukseskan program wajib belajar di Indonesia, tetapi juga mencerdaskan generasi muda yang memiliki kekuatan iman dan kebangsaan yang kental.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement