Sabtu 01 Feb 2020 12:18 WIB

Seperti Apa Pengaturan Khutbah Jumat di Sejumlah Negara?

Di Indonesia, ada wacana penyeragaman khutbah Jumat.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
 Suasana saat khutbah pada shalat Jumat.  (ilustrasi)
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Suasana saat khutbah pada shalat Jumat. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Usulan penyeragaman khutbah di Indonesia mencuat baru-baru ini. Penyeragaman khutbah yang terbilang baru di Indonesia ini menimbulkan pertanyaan mengenai perbandingan khutbah di negara lain.

Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI) Imam Ahmad Addaruquthni menilai, penyeragaman khutbah bukanlah hal yang cocok diterapkan di Indonesia. Sebab Indonesia merupakan negara demokratis yang menganut sistem republik dan mengacu pada undang-undang dasar dalam kehidupan ketatanegaraan.

Namun begitu, penyeragaman khutbah bukanlah hal baru di lingkup masjid-masjid dunia. Khususnya di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim yang menganut sistem kerajaan atau kesultanan. Menurut dia, sistem kerajaan biasanya bersifat absolut dan sukar untuk menerima kritik.

“Ceramahnya itu diseragamkan (di negara-negara kerajaan). Kalau (khutbah) seragam, maka potensi untuk mengkritik raja dan pemerintahan itu tak terjadi,” kata Imam saat dihubungi Republika, Rabu (29/1).

Dia menjelaskan, terlepas dari benar atau tidaknya aturan penyeragaman khutbah di negara-negara tersebut, Indonesia sudah seharusnya tak meniru hal serupa. Baginya, penyeragaman khutbah hanya akan mengkerdilkan proses berpikir umat agar tidak kritis. Padahal salah satu ruh dalam negara demokrasi adalah sikap kritis dari warganya sebagai pemantau jalannya roda pemerintahan.

Di mayoritas negara-negara Timur Tengah, kata dia, sistem kerajaan mereka bahkan menjatuhkan hukuman mati bagi para pengkhutbah yang dinilai ‘melenceng’ dari haluan pemerintah. Hukuman akan dijatuhi secara pasti tanpa perlu meninjau validitas konteks khutbah yang disampaikan terlebih dahulu.

“Pokoknya kalau sudah mengkritik (pemerintah dan raja), pasti dijatuhi hukuman mati,” ungkapnya.

Atmosfer berbeda justru dirasakan oleh sejumlah negara-negara tertentu. Ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia-New Zealand, Nadirsyah Hosen mengatakan, masjid-masjid di Autralia dan New Zealand tidak menganut penyeragaman khutbah layaknya negara-negara di Timur Tengah atau negara Muslim tertentu.

Dia menjabarkan, masjid yang sudah memiliki imam tetap biasanya akan menyajikan khutbah setiap pekannya. Adapun yang menyiapkan khutbah adalah imam yang bersangkutan yang akan membawakan khutbah tersebut sesuai kapasitas yang bersangkutan.

"Materi (khutbah)-nya terserah pada sang imam. Begitu prakteknya jika di sini (Australia-New Zealand),” kata pria yang akrab disapa Gus Nadir ini.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadizily menolak usulan penyeragaman khutbah tersebut. Meski terdapat sejumlah negara yang menyeragamkan khutbah masjid-masjidnya, hal itu tak serta merta dapat diterapkan di Indonesia. Sebab Indonesia memiliki sistem dan budaya yang berbeda dengan negara-negara tersebut.

“Kita harus bedakan (sistem) di Indonesia dengan di Timur Tengah. Jadi penyeragaman khutbah itu tidak bisa (di sini), karena negara kita sangat plural,” kata Ace.

Dia menyebutkan, penyeragaman teks khutbah di masjid-masjid merupakan bagian dari penyeragaman materi khutbah. Artinya, kata dia, apabila hal itu terjadi maka pemerintah telah bergerak terlalu jauh untuk ikut campur terhadap urusan keagamaan masyarakat dan umat.

Namun menurutnya, apabila terdapat khatib yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan syariat, masyarakat setempat dapat mengoreksi hal itu dengan sendirinya. Sehingga penyeragaman khutbah dengan alasan apapun tak bisa dibenarkan.

Lebih jauh dia justru menganjurkan kepada Kementerian Agama (Kemenag) untuk melakukan pembinaan melalui Kantor Urusan Agama (KUA) dan melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) serta ormas-ormas Islam, pesantren, dan perguruan tinggi Islam untuk bekerja sama. Sehingga apabila pembinaan terhadap pengkhutbah itu terjadi, nilai khutbah yang disampaikan pun dapat terwujud dengan baik.

Pemerintah juga diminta untuk tidak meragukan kemampuan masyarakat untuk  menunjuk para khatib yang layak untuk menyampaikan khutbah di masjid. Sebab, tata cara khutbah sejatinya telah diatur berdasarkan aturan fikih Islam yang masuk ke dalam syarat-syarat bagian dari pelaksanaan shalat Jumat itu sendiri.

Untuk itu menurutnya, pemerintah jangan bersikap gegabah dan menjadikan usulan tersebut sebuah kebijakan. “Di era Orde Baru saja tidak ada penyeragaman khutbah, jadi jangan dilakukan itu (penyeragaman),” pungkasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement