Jumat 26 Jul 2019 18:40 WIB

10 Fatwa MUI yang Picu Kontroversi Menurut Akademisi

Akademisi menilai fatwa MUI tak lepas dari konteks.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nashih Nashrullah
Logo MUI
Logo MUI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggelar Konferensi Internasional Tahunan tentang Studi Fatwa di Depok, Jumat (26/7). 

Dalam forum ini, salah satu pemateri, Marwadi, yang merupakan akademisi dari IAIN Purwokerto memaparkan soal 10 fatwa MUI yang kontroversial dari sisi sosiologi hukum.

Baca Juga

Fatwa-fatwa yang disebutkan Marwadi, yakni terkait perayaan natal bersama, infotainment, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), pernyataan Basuki Tjahaja Purnama soal al-Maidah ayat 51, larangan merokok, golput, SMS berhadiah, senam yoga, penggunaan atribut keagamaan, dan kiblat.

"Ada 10 fatwa menurut pengamatan kami melalui media sosial, media cetak dan elektronik, yang mendapatkan banyak respons. Ada yang pro dan kontra. Memang harusnya (fatwa) ini diterima masyarakat luas tapi nyatanya banyak mendapat respons," kata dia dalam forum tersebut. 

Marwadi menjelaskan, fatwa ini merupakan produk yang dihasilkan MUI sebagai sebuah lembaga yang di dalamnya terdiri banyak orang. Di sisi lain, fatwa tersebut pun akan dinikmati kalangan masyarakat Muslim. Karena itu, pengaruh-pengaruh sosial, ideologi, dan ekonomi, pasti tak bisa dipisahkan dari konteks keluarnya fatwa tersebut.  

"Maka untuk melihatnya kami melihat dari sisi sosiologi hukum. Kita mengenal hukum sebagai kontrol sosial. Sebagai kontrol sosial, yaitu hukum memengaruhi orang agar bertingkah laku sesuai harapan kita," tuturnya. 

Marwadi juga mengatakan, hukum tidak berdiri sendiri atau otonom, tapi juga terkait dengan proses yang ada di dalam masyarakat. Komisi Fatwa MUI pada posisi ini seperti sebuah mesin yang menerima input, lalu menjalankan proses penyelesaian, untuk menghasilkan fatwa.

"(Dalam proses menghasilkan fatwa ini), bisa jadi ada pengaruh yang melingkupunya, (seperti) ideologi, sosial, politik, dan sebagainya. Karena MUI juga tidak bisa otonom, tidak bisa bebas dari pengaruh masyarakat," ucap dia.

Setelah MUI mengeluarkan fatwa, lanjut Marwadi, tidak seluruh masyarakat menerimanya sehingga menjadi kontroversi. Selain karena objek fatwanya memang sudah menjadi kontroversi, keterpahaman masyarakat terhadap isi menyeluruh fatwa juga menjadi faktor yang memicu kontroversi.

Salah satu contohnya, terang Marwadi, soal fatwa BPJS. Beberapa tahun yang lalu, MUI mengeluarkan fatwa bahwa BPJS tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Jika dicermati, paparnya, hanya beberapa aspek dalam BPJS yang tidak sesuai dengan syariat.

Apalagi, Marwadi mengungkapkan, fatwa MUI itu pun memberi rekomendasi agar pemerintah melakukan pembenahan terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat. 

"Dan ditawarkan (dalam fatwa itu), bahwa selama belum ada BPJS yang sesuai dengan prinsip syariah, ya dipersilakan menggunakannya," tuturnya.

Marwadi berharap, MUI dapat lebih menyosialisasikan fatwa-fatwanya secara komprehensif kepada masyarakat luas supaya tidak menimbulkan pandangan yang keliru saat fatwa dikeluarkan. Dengan begitu masyarakat Muslim tidak keliru dalam menindaklanjuti fatwa tersebut. 

"Karena kurang sosialisasi secara luas, kemudian begitu fatwa BPJS keluar, seolah-olah ada larangan untuk menggunakan BPJS sehingga ini yang harus segera dilakukan (tidak memakai BPJS), padahal kan tidak," kata dia.

Marwadi juga berpendapat, fatwa-fatwa lain seperti infotainment, senam yoga, dan SMS berhadiah pun sebetulnya tidak berpotensi menjadi kontroversi. "Tetapi kemudian respons-nya kontroversial karena kurang sosialisasi yang masif, detail dan mendalam terhadap masalah," katanya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement