REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syarqawi Dhofir
Pada suatu hari, Rasulullah SAW keluar rumah sambil memegang tangan Abu Dzar. ''Wahai Abu Dzar, tahukah kamu bahwa di depan kita ada sebuah tanjakan yang sulit yang hanya bisa dilalui oleh orang-orang yang ringan beban?''
Seorang sahabat bertanya, ''Wahai Rasulullah, apakah saya ini termasuk orang-orang yang ringan atau sarat beban?'' Rasulullah menjawab dengan pertanyaan, ''Apakah kamu punya makanan untuk hari ini?'' Orang itu menjawab, ''Ya.'' Rasulullah bertanya lagi, ''Untuk besok pagi?'' ''Ya,'' jawabnya lagi. Rasulullah kembali bertanya, ''Untuk besok lusa?'' Orang tadi menjawab, ''Tidak.''
Lalu Rasulullah menegaskan, ''Kalau kamu mempunyai makanan yang cukup untuk tiga hari, maka kamu termasuk orang-orang yang sarat beban''. Yang dimaksud dengan ''tanjakan yang sulit'' oleh hadis tersebut adalah jalan menuju kebahagiaan akhirat. Sedangkan yang dimaksud dengan ''beban'' adalah harta.
Hal itu, karena proses materialisasi membuat angan-angan menjadi panjang. Setiap hari sibuk menumpuk harta. Tidak sebatas untuk diri sendiri. Bahkan dipikirkan pula agar bisa mewariskannya dalam jumlah besar, khawatir kalau anak kelak melarat.
Karena itu, segala sesuatunya disiapkan sekarang. Harta yang menumpuk lalu terasa belum memenuhi seluruh keinginan. Sehingga semakin kaya semakin kikir. Yang dipikirkan, bagaimana harta bertambah, bukan bagaimana memanfaatkannya untuk bekal menuju akhirat yang sulit itu.
Nabi sendiri tak meninggalkan harta. Seluruh tanah dan hartanya telah diwakafkan. Kata Beliau, ''Kami para nabi tidak mewariskan warisan harta kecuali semuanya telah menjadi sedekah.'' (H.R. Bukhari). Dalam hidup ini kadang-kadang kita ini bertindak sebagai Tuhan. Ingin menetapkan pembagian rezeki, kalau perlu sampai tujuh keturunan, karena rasa waswas yang berlebihan tentang masa depan keturunan. Padahal yang berhak menetapkan pembagian rezeki itu adalah Allah.
Kita lupa bahwa tugas terhadap anak bukan semata mewariskan harta yang memang diperlukan, tetapi yang lebih penting mewariskan pendidikan yang baik buat Allah dan manusia. Ali bin Abi Thalib R.A berkata: ''Kebaikan itu bukan ada pada banyaknya harta dan anak, tetapi pada banyaknya pendidikan, besarnya kepekaan sosial, dan perasaan terhormat dengan ibadah.'' Dan karena itu, menurut beliau, harta itu hanya baik buat pendosa yang bertobat dan orang yang senang bergegas dalam kebaikan.
Pengalaman mengajarkan, betapa banyak anak seorang petani miskin lalu menjadi kaya dan baik hanya lantaran orang tua tadi mewariskan pendidikan yang baik kepada anaknya. Tetapi sebaliknya, betapa banyak anak yang menerima harta warisan banyak tetapi tak berbekal pendidikan yang baik, atau berbekal tetapi pendidikan yang melulu berurusan dengan keduniaan, lalu menjadi bangkrut, miskin, dan sesat jalan. Na'udzubillah!