REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa itu--jauh sebelum kolonialisme Belanda di Nusantara--Banjar dan Makassar menjadi dua kerajaan yang saling memperebutkan pengaruh atas Kutai. Keduanya memang secara resmi memeluk Islam. Maka dari itu, wajar bila perkembangan dakwah Islam di Kutai tidak begitu terkendala perseteruan dua negeri tersebut.
Pada masa Raja Aji Muhammad Idris (1735-1778), seluruh wilayah Kutai Kertanegara atau Kalimantan Timur umumnya telah menerima Islam. Keberpihakannya pada Islam tidak tanggung-tanggung. Dia merupakan penguasa Kutai Kertanegara pertama yang memakai gelar sultan. Sultan Muhammad Idris kemudian membentuk jajaran khusus yang bertugas semacam kadi, yakni menangani persoalan agama di seluruh Kutai Kertanegara.
Sementara itu, Banjar mulai meredup karena dominasi Kompeni yang mulai merasuk ke lingkungan elitenya. Pada 1787, Sultan Banjar Nata Alam mengadakan perjanjian dengan Kompeni. Dampaknya, beberapa daerah kekuasaan Banjar di Kalimantan menjadi milik korporasi asal Belanda itu. Menghadapi bahaya Kompeni, Sultan Muhammad Idris lebih suka bersekutu dengan orang-orang Makassar, terutama kalangan Wajo.
Selat Makassar yang memisahkan Pulau Kalimantan dengan Sulawesi berada di bawah kekuasaaan armada La Maddukkelleng. Raja Wajo ini terus berupaya melawan dominasi Kompeni di Kalimantan sehingga kerap dituding sebagai bajak laut. Salah seorang keturunannya menikah dengan Sultan Muhammad Idris. Aliansi Kutai-Wajo begitu kuat.
Terbukti, Sultan Muhammad Idris pernah berangkat ke Tanah Wajo, Sulawesi Selatan, untuk ikut bertempur melawan pasukan Kompeni di sana. Sayangnya, dia turut gugur dalam pertempuran ini pada 1739.
Perebutan takhta pun tak terhindarkan di tingkat elite Kutai Kertanegara, yakni antara Aji Kado dan Aji Imbut yang merupakan putra mahkota kerajaan. Namun, Aji Imbut kalah saing sehingga melarikan diri ke Tanah Wajo. Selanjutnya, Aji Kado mendeklarasikan diri sebagai sultan baru yang bergelar Muhammad Aliyuddin.
Bertahun-tahun kemudian, Aji Imbut ingin merebut kekuasaan dari saingannya itu. Orang-orang Wajo yang masih setia pada ayahnya, Muhammad Idris, memberikan dukungan. Aji Imbut pun diangkat sebagai sultan Kutai Kertanegara dengan gelar Muhammad Muslihuddin.
Dualisme kepemimpinan ini berujung pada konflik. Dalam keadaan terdesak, pada 1778 Aji Kado alias Sultan Muhammad Aliyuddin meminta bantuan Kompeni. Namun, permintaan ini ditolak. Sementara itu, kubu Aji Imbut alias Sultan Muslihuddin semakin menguasai perairan Selat Makassar. Mereka memboikot kapal-kapal niaga yang hendak bersandar di muara Sungai Mahakam.
Dua tahun kemudian, pasukan Aji Imbut berhasil merebut kembali takhta Kutai Kertanegara. Aji Kado pun dijatuhi hukuman mati. Jasadnya dikebumikan di Pulau Jembayan (kini Kecamatan Loa Kulu).
Pada 1782, Sultan Muslihuddin memindahkan ibu kota Kutai Kertanegara ke Tepian Pandan. Daerah ini kemudian berubah nama menjadi Tenggarong, yang berasal dari istilah “Tangga Arung”, artinya ‘Rumah Raja’. Pemerintahan sang sultan terus bertahan hingga lebih dari setengah abad secara relatif tenteram.
Kompeni tidak lagi menjadi ancaman yang berarti sejak 1747, tahun terakhir perusahaan Belanda itu mengirimkan misi perniagaan ke Kutai. Setelah wafat, Sultan Muslihuddin digantikan putranya yang bergelar Sultan Aji Muhammad Salihuddin.