REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada akhir 1526, pasukan Fatahillah dapat menaklukkan Banten, sehingga melemahkan pengaruh Pajajaran di Jawa Barat. Putra Sunan Gunung Jati, Hasanuddin, kemudian menjadi wali penguasanya.
Satu tahun kemudian, Fatahillah mulai bergerak menyerang benteng-benteng Portugis di Sunda Kelapa. Setelah melalui pertempuran yang sengit, pasukan yang dipimpin Fransisco de Sa harus mengakui kekalahan.
Sejak 22 Juni 1527, Sunda Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta (harfiah: ‘kemenangan besar’). Nama ini dipilih untuk menandai keunggulan bangsa Pribumi atas penjajahan asing. Sampai sekarang, tanggal tersebut diperingati sebagai hari lahir DKI Jakarta.
Sejak keberhasilan mengusir Portugis dan menaklukkan Pajajaran, daulat Islam mulai berdiri kukuh di Banten. Pada 1552, putra Sunan Gunung Jati, Hasanuddin, naik takhta menjadi Sultan Banten I.
Sementara itu, Kesultanan Demak mulai melemah akibat intrik politik di lingkungan istana. Untuk itu, sejak 1568 Banten bukan lagi sebuah kadipaten di bawah Demak, melainkan sudah menjadi sebuah kerajaan yang mandiri.
Demikianlah, hingga belasan tahun kemudian Sultan Hasanuddin berhasil menjadikan Banten sebagai kedaulatan Muslim serta poros maritim yang jaya dan disegani di seluruh Pulau Jawa--dan Nusantara umumnya. Dia bergelar Panembahan Surasowan.
Di bawah kepemimpinannya, wilayah Banten mencakup Selat Sunda, Lampung, dan sebagian Bengkulu. HAMKA dalam Sejarah Umat Islam menuturkan, pelabuhan-pelabuhan Banten selalu ramai dikunjungi para saudagar dari mancanegara pada masa ini. Hasil bumi yang distribusinya dikendalikan Banten menjadi komoditas unggulan, seperti lada, kayu cendana, atau gading.
Baca juga: Selintas Sejarah Kesultanan Banten (4)