REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Canda bagi 'emak-emak' menjadi rutinitas sehari-hari. Gelak tawa khas ibu seusai bercanda dengan suami, anak, tetangga hingga teman pengajian merupakan hi buran setelah menjalani kesibukan mengurus anak, suami, dan rumah tangga.
Lantas, bagaimana canda yang sesuai dengan tuntunan Islam?
Dalam buku karangan Syekh Mahmud al-Mishri yang diterjemahkan oleh Ustaz Abdul Somad dengan judul Semua Ada Saatnya, menjelaskan tiga kelompok manusia berdasarkan candaannya. Pertama, orang yang menghabiskan waktu malam dan siangnya hanya dengan tawa dan senda gurau.
Golongan ini termasuk jenis yang tercela karena sama saja dia telah melewati batas kewajaran dan termasuk dalam sikap yang berlebihan. Rasulullah SAW bersabda, "Jangan perbanyak tawa karena banyaknya tawa itu mematikan hati," (HR Ibnu Majah).
Golongan kedua, yakni orang yang bermuka masam dan tidak pernah menunjukkan senyum di wajahnya. Ini termasuk hal yang tercela karena menyebabkan orang lain menjauh bahkan membencinya. Rasulullah SAW bersabda, "Senyumanmu ke wajah saudaramu adalah sedekah bagimu," (HR Bukhori).
Golongan terakhir, adalah mereka yang berasa di pertengahan antara dua golongan sebelumnya. Rasulullah SAW sendiri termasuk dalam golongan ini, beliau sesekali bercanda dan dalam can daannya hanya melontarkan hal yang benar saja, tanpa perlu mengada-ada atau menjelekkan seseorang demi mengundang tawa orang lain.
Syekh Mahmud dalam bukunya juga mencantumkan pengertian dari canda atau gurauan. Menurut dia, gurauan me rupakan kebutuhan manusia secara psikis dan akal. Bergurau, katanya, juga sudah menjadi tabiat manusia untuk mengurangi kejenuhan saat bekerja sepanjang waktu.
Namun, terdapat beberapa gurauan yang diharamkan. Syariat Islam dengan jelas menekankan haramnya kezaliman, penipuan, gosip, adu domba, menghina, dan merendahkan orang lain. Gurauan, kata Syekh Mahmud, jika tidak diletakkan pada porsi dan tempatnya maka dapat berisiko memancing permusuhan.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, "Gurauan gang dilarang, jika di dalamnya terdapat sikap berlebihan, atau dila ku kan secara terus-menerus. Karena, dalam melalaikan dari zikir mengingat Allah SWT dan memikirkan perkara pen ting dalam agama. Bahkan, sering kali menyebabkan keras hati, menyakiti orang lain, dengki, dan tidak memiliki wibawa."
Salah satu sahabat Rasulullah SAW, Said bin Al-'Ash pernah memberikan nasihat pada anaknya. Dia berkata, "Wa hai anakku, janganlah engkau bercanda dengan orang mulia karena ia akan deng ki terhadapmu dan janganlah engkau bercanda pada rakyat jelata karena ia akan lancang terhadapmu."
Dalam Alquran, Allah SWT juga menjelaskan batasan dalam bergurau, dan melarang umat Muslim mengejek atau merendahkan suatu golongan. Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan laki-laki merencanakan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan, jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan, janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
Seburuk-buruknya panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (Al-Hujarat:11).
Al-Ghazali berkata, "Makna olok-olok adalah merendahkan, menghina, me nun jukkan cacat atau kekurangan orang lain dengan cara menertawakannya lewat ucapan atau perbuatan, de ngan isyarat dan menunjuk langsung. Jika itu dilakukan di hadapan orang yang diejek, itu tidak disebut gibah, tetapi mengandung makna gibah."