REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilu 2019 sudah di depan mata. Calon anggota legislatif pun mulai berkampanye di daerah pemilihan masing-masing. Mereka datang dari beragam partai politik baik berasaskan Islam maupun nasional-sekuler.
Dalam satu dekade terakhir, pemilu diramaikan wajah caleg perempuan yang ikut meramaikan pesta demokrasi ini. Dalam UU No 10 Tahun 2008, diatur bahwa di antara tiga bakal calon, setidak-tidaknya ada satu orang calon perempuan.
Tingginya populasi perempuan di Tanah Air yang berjumlah 130,3 juta jiwa dianggap perempuan sudah selayaknya lebih pantas mewakili kaumnya di parlemen. Meski demikian, masih ada anggapan yang melarang wakil perempuan untuk duduk di parlemen.
Allah SWT dalam QS an-Nisa ayat 34 mengatakan, "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Karena, Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain. Dan, karena mereka telah menafkahkan dari harta mereka."
Kemudian, terdapat hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, an-Nasa'i, at- Turmudzi, dan Ahmad dari Abu Bakrah. Bunyi hadis tersebut, yakni, "tidak akan beruntung suatu kaum yang akan menyerahkan urusan mereka kepada wanita."
Kesan yang kuat dalam dalil di atas adalah bentuk pelarangan untuk memilih perempuan sebagai pemimpin. Umat lantas bertanya, bolehkah memilih caleg perempuan?