REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masa idah atau masa menunggu seorang perempuan setelah ditinggal suaminya, baik karena meninggal dunia atau bercerai merupakan sesuatu yang wajib dilakukan. Menurut Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Perempuan, waktu masa tunggu dapat berbeda-beda sesuai dengan cara si perempuan ditinggalkan oleh suaminya.
Seperti yang dijelaskan dalam surah al- Baqarah ayat 234, Orang-orang yang mening gal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri, (hendaklah para istri itu) menunggu dengan menahan diri mereka sendiri (beridah) selama empat bulan dan sepuluh (malam). Apabila telah sampai batas akhir (idah) mereka, tiada dosa bagi kamu membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut, Allah menge- tahui apa yang kamu perbuat.
Dalam bukunya, Quraish Shihab menjelaskan bahwa salah satu makna dari idah ada lah masa berkabung atas kepergian suami. "Karena itu, pada masa tersebut istri tidak dibenarkan berdandan seakan-akan merayakan kepergian suaminya serta seakan- akan mengharap datangnya suami baru," tulis Quraish Shihab dalam bab bias cendikiawan kontemporer.
Quraish Shihab melanjutkan, dalam masa itu istri juga tidak diperkenankan keluar rumah kecuali dalam keadaan mendesak. Hal ini jelas diterangkan dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Ummu Salamah RA.
Diriwayatkan bahwa seorang perempuan datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya, Bolehkah putrinya yang suaminya baru saja meninggal dunia berdandan dengan bercelak mata?Lalu, Nabi SAW menjawab, Tidak, tidak, tidak (beliau mengucapkannya dua atau tiga kali). Itu hanya empat bulan sepuluh hari.
Bukankah kalian dahulu pada masa jahiliyah melemparkan kotoran binatang setelah berlalu setahun? (HR Bukhari dan Muslim).
Dijelaskan bahwa maksud melemparkan kotoran binatang adalah kebisaan para jahiliyah untuk menandai usainya masa idah dan sebagai ungkapan kekesalan mereka akan lamanya waktu menunggu tersebut.
Ada pun persoalan idah, menurut Quraish Shi hab, dipahami dan diamalkan berbeda- beda. Ada beberapa orang dengan ketat melarang perempuan yang sedang dalam masa idah untuk mandi menggunakan sabun wangi, melarangnya berbicara, khususnya lawan jenis, dan melarang menggunakan perhiasan, termasuk jam tangan.
Namun, di sisi lain, ada pula yang sangat melonggarkan masa iddah, sehingga hanya dalam beberapa hari setelah meninggalnya suami, istri sudah diperbolehkan keluar rumah, berhias, dan berkumpul dengan temannya, bahkan pria lain untuk segera menikahinya.
Hal ini tentu akan sedikit menyinggung perasaan keluarga suami karena seolah-olah istri tidak merasakan duka atau kehilangan setelah kepergian suaminya.
Sementara itu, Quraish Shihab menyarankan para istri yang tengah menjalani idah untuk meminimalisasi bepergian keluar rumah kecuali dalam keadaan mendesak atau menjalani kewajiban sehari-hari, seperti bekerja, mengikuti studi, atau hal lain yang sulit dihindari.
Pendapatnya didukung oleh firman Allah SWT yang artinya, Bertakwalah kepada Allah sekuat kemampuan kamu. (QS at-Taghabun: 16).
Rasulullah SAW juga berfirman, Apabila aku memerintahkan kepada kamu satu per- intah, laksanakanlah sepanjang kemampuan kamu dan apa yang aku larang maka hindarilah. (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam tulisannya, Quraish Shihab menafsirkan bahwa makna dari bila sangat dibutuhkan dapat ditoleransi selama yang bersangkutan tampil dengan wajar dan sela ma yang menjalaninya memperhatikan tujuan dari masa tunggu itu, antara lain, tidak menampakkan kegembiraan.
Hal itu juga tidak mengundang (untuk sementara, dengan sikap dan perbuatan) datangnya lelaki lain untuk meminang secara terang-terangan. Jika pinangan itu disampaikan secara samar, hal tersebut tidak dilarang oleh agama,lanjut Quraish Shihab.