REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah informasi di peroleh Said bin Yazid dari ayahnya. Sang ayah mengutip pernyataan Rasulullah agar seorang Muslim berhati-hati dengan kepemilikan hartanya. Jangan sampai mengambil hak orang lain.
“Janganlah di antara kalian mengambil barang saudaranya dengan niatan untuk mengambilnya atau hanya bermain-main.” Rasul melanjutkan, seandainya salah satu dari seorang Muslim mengambil tongkat saudaranya, beliau menuntutnya mengembalikan kepada pemiliknya. Dengan demikian, kata cendekiawan Muslim, Sayyid Sabiq, Muslim tak boleh mengambil hak orang lain dan menguasainya secara paksa dan zalim.
Jika itu terjadi, kata dia, itu dinamakan ghashab. Hukum perbuatan tersebut adalah haram dan orang yang melakukannya berbuat dosa. Karena haram, barang dari hasil ghashab itu tak boleh dimanfaatkan dengan cara apa pun. “Apa yang dihasilkan harus dikembalikan kepada pemiliknya,” katanya.
Saleh al-Fauzan menuturkan, harta yang dirampas secara zalim bisa berbentuk harta bergerak dan tak bergerak. Juga barang yang berpindah-pindah. Ia mencontohkan tanah, seperti yang dikatakan Nabi Muhammad SAW, ”Siapa yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka akan dikalungkan kepadanya tujuh lapisan bumi.”
Orang yang berbuat ghashab wajib bertobat dan tentu saja mengembalikan harta atau benda yang diambilnya tanpa hak kepa da empunya. Orang itu pun dituntut meminta maaf atas perbuat annya. Saleh mengatakan, ketika benda yang dirampas itu masih utuh, sebaiknya segera dikembalikan dalam keadaan tersebut.
Sebaliknya, jika bendanya telah rusak maka si pelaku mesti menggantinya. Menurut Sayyid Sabiq, orang bersangkutan harus mengembalikan barang yang serupa atau mengganti nilainya.
Ulama mazhab Maliki berpendapat, harta selain emas dan perak, binatang, serta barang yang tak ditakar mesti diganti dengan membayar nilainya. Ulama dari Mazhab Syafii dan Hanafi mengatakan, orang yang menggunakan barang hasil gha shab hingga barang itu rusak, dia bertanggung jawab menggantinya dengan benda serupa kecuali bila tidak ada. Ketika barangnya berada di tangan orang lain ka rena dijual oleh si pengambil, pemilik sah berhak mengambilnya.
Saleh al-Fauzan melalui bukunya, Fiqih Sehari-Hari, menyampaikan penjelasan lebih jauh. Pa da saat barang yang dirampas dengan zalim itu berkembang, si perampas wajib mengembalikannya kepada tuan atas barang itu. Bangunan yang ada di atas tanah berstatus ghashab harus dibong kar.
Tanaman yang ditanam juga dicabut. Selanjutnya, kerusakan yang terjadi pada tanah harus diganti. Pelaku ghashab selayaknya membersihkan bangunan atau tanam an yang ada di atas tanah itu se belum mengembali kannya.
”Dengan demikian, tanah dalam ke adaan baik untuk diserahkan kepada pemiliknya,” kata Saleh.
Orang-orang yang menerima manfaat dari barang ghashab, ujar dia, bertanggung jawab atas barang itu. Ia menguraikan, se gala bentuk penggunaan benda yang diambil dengan paksa, mes ki dengan cara yang baik, tak dibenarkan. Alasannya, pemanfaatannya tak seizin orang yang mempunyainya.
Menurut Saleh, seseorang yang berbuat ghashab, namun tak tahu siapa pemiliknya dan tak mampu mengembalikannya, ia harus me nyerahkannya kepada penguasa. Kemudian, penguasa memberi kannya ke pihak yang berhak. Atau menyedekahkan atas nama pemiliknya dan pahala mengalir kepadanya. Pelaku ghashab terbebas dari perbuatannya.
Ia mengatakan, mengambil kepunyaan orang lain bukan ha nya dengan merampas dengan paksa, tetapi juga melalui perdebadatan dan sumpah palsu. Da lam al-Baqarah ayat 188, Allah melarang manusia memakan har ta sebagian dari manusia lainnya dengan jalan batil dan tak mem bawa urusan harta itu ke hakim. Dengan tujuan, dapat mema kan harta benda orang lain itu de ngan jalan berbuat dosa.
Di surah lain, Ali Imran ayat 77, Allah me nyatakan, orang-orang yang menukar janjinya dengan Allah dan sumpah-sumpahnya dengan harga yang sedikit, mereka tidak mendapatkan pahala di akhirat. n