REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aborsi adalah menggugurkan kandungan (janin) sebelum sempurna masa kehamilan, baik dengan obat-obatan atau lainnya. Banyak di antara pelaku aborsi adalah mereka yang melakukan pergaulan bebas atau hamil tanpa didahului akad pernikahan.
Namun, ada pula pasangan yang terpaksa melakukan aborsi karena adanya risiko buruk bagi ibu atau janin. Keadaan perekonomian keluarga juga dapat menjadi alasan untuk melakukan praktik aborsi. Alasan-alasan ini yang membuat pembahasan mengenai aborsi menjadi hal yang banyak di singgung di beberapa negara. Ada yang mela rangnya secara mutlak, dan ada yang membolehkannya secara mutlak.
Prof Quraish Shihab dalam bukunya berjudul Perempuan menggarisbawahi bahwa seseorang yang hamil tanpa didahului pernikahan yang sah, lalu menggugurkan kandungannya maka dosanya dianggap berganda. Menurut dia, para ulama hanya fokus membahas perempuan yang telah sah menikah dan melakukan aborsi karena alasan tertentu.
Dalam pandangan Mazhab Hanafi, aborsi hanya dibolehkan sebelum empat bulan usia kandungan. Akan tetapi, bukan berarti pengguguran tersebut tidak mengakibatkan dosa, tetapi dosanya tidak sebesar dosa membunuh manusia. Alasan dilakukannya aborsi yang dapat diterima, antara lain, apabila sang ibu merasa tak kuat mengandung terlebih melahirkan, baik karena alasan sakit atau lainnya.
Sedangkan, dalam pandangan Mazhab Maliki, aborsi sangat jelas dilarang. Bahkan, mazhab ini melarang dilakukannya aborsi meski umur janin masih kurang dari 40 hari setelah bertemunya sperma dan ovum. Berbeda dengan mazhab Maliki, ulama mazhab Syafi'i memiliki pendapat yang berbeda-beda tentang boleh tidaknya menggugurkan kandungan setelah pertemuan sperma dan ovum dalam batas 40 hari.
"Namun, ulama Mazhab Syafi'i sepakat tentang haramnya aborsi setelah empat bulan masa kandungan," tulis Quraish Shihab dalam bab Aborsi.
Di lain sisi, Mazhab Hanbali menilai, aborsi mubah (dibolehkan) selama kandungan belum berlaku 40 hari dan dilakukan dengan obat yang dibenarkan. Meski berbeda-beda, seluruh mazhab sepakat bahwa haram menggugurkan kandungan setelah empat bulan kehamilan. Jika dilakukan maka yang bersangkutan dinilai berdosa dan wajib membayar diyah (denda) sebesar seperdua puluh dari diyah pembunuhan.
Walau demikian, ulama juga menyepakati dibolehkannya aborsi jika dokter yang terpercaya menyatakan bahwa janin yang dikandung dapat membahayakan nyawa sang ibu. Beberapa ulama bahkan menilai kasus semacam ini wajib hukumnya.
Melalui perbincangan Quraish Shihab dengan mufti Mesir yang menjabat sebagai pimpinan tertinggi lembaga Al-Azhar Mesir, Syekh Muhammad Thanthawi, beliau mengatakan, "Jika memang dokter yang terpercaya menilai bahwa kualitas hidup janin itu (setelah kelahirannya) akan sangat rendah akibat cacat bawaan atau penyakit yang diderita maka aborsi dapat dipertimbangkan," ungkapnya.
"Di sini, beliau (Syekh) tidak mempersoalkan usia janin," tambah Quraish Shihab. Sedangkan, pelaku aborsi yang disebabkan akibat 'kecelakaan' atau tidak didasari ikatan pernikahan maka pelaku dinilai melakukan dua kesalahan. Pertama, hubungan seks di luar nikah. Kedua, aborsi di luar yang telah ditentukan oleh para ulama. "Siapa pun yang melakukannya maka dapat dikategorikan sebagai pembunuh," tulis Quraish Shihab.