REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mendirikan ibadah shalat lima waktu merupakan kewajiban setiap umat Islam yang sudah dewasa (mukallaf). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS An-Nisa [4]: 103).
Dalam ayat lain Allah berfirman; Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku.” (QS Al-Baqarah [2]: 43).
Selain kedua ayat di atas, masih banyak penegasan Allah dalam Alquran yang memerintahkan umat Islam untuk mendirikan shalat. Misalnya, sebagaimana terdapat dalam surah Al-Baqarah [2]: 83, 110, Al-Isra [17]: 78, Al-Ankabut [29]: 45, Yunus [10]: 87, Thaha [20]: 14, ar-Ruum [30]: 31, Luqman [31]: 17, Al-Ahzab [33]: 33.
Shalat lima waktu hukumnya wajib. Orang yang mengerjakannya akan mendapat pahala dan bagi yang meninggalkannya berdosa. Karena sesungguhnya, shalat itu merupakan puncak dari segala ibadah.
Islam dibangun di atas lima perkara yaitu bersyahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji (bila mampu), dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (Diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umar RA).
Namun, bagaimana bila tidak sengaja meninggalkannya? Misalnya karena tertidur? Atau terpaksa meninggalkan karena ada larangan untuk mengerjakannya, seperti haid dan nifas?
Dalam masalah ini, terdapat beberapa pendapat ulama. Ada yang mengatakan, orang yang tidak sengaja meninggalkan shalat, maka dia harus menggantinya di waktu yang lain. Namun, ada juga yang berpendapat, dia tidak wajib menggantinya.
Munculnya pendapat diatas, berdasarkan beberapa dalil yang dipahami oleh para ulama. Di antaranya, berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW. Diangkat pena (hukum, red) itu dari tiga hal, anak kecil hingga dia balig (dewasa), orang gila hingga dia berakal (sembuh), dan orang yang tertidur hingga dia bangun.”
Mengapa anak kecil dibebaskan dari hukum? Sebab, dia belum dewasa dan dianggap belum mempunya cukup akal untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Begitu juga orang yang gila, mereka tidak memahami lagi apa yang dikerjakan. Sedangkan orang yang tertidur, dianggap tidak mengetahui ketentuan hukum.
Dalam hadis lainnya, disebutkan, bahwa suatu hari Siti Aisyah RA (istri Rasulullah SAW), bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai haid. Dan karena hal itu, dia terpaksa tidak melaksanakan puasa. Saat itu, Rasul memerintah Aisyah untuk mengganti puasanya di hari yang lain dan tidak diperintahkan untuk mengganti atau meng-qadha shalat. Ketika kami mengalami haid, kami diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha shalat.”
Berdasarkan keterangan inilah, para ulama berselisih pendapat mengenai ada atau tidaknya qadha dalam shalat. Namun demikian, karena shalat itu merupakan kewajiban, maka secara umum ulama sepakat, bahwa seseorang yang ketinggalan shalat fardhu, maka wajib meng-qadha shalatnya. Baik shalat yang ditinggalkannya itu karena sengaja, lupa, tidak tahu, maupun karena ketiduran.
Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah SAW bersabda: Apabila salah seorang dari kalian tertidur hingga luput dari mengerjakan satu shalat atau ia lupa, maka hendaklah ia menunaikan shalat tersebut ketika ia ingat.” (HR Muslim). Siapa lupa dari mengerjakan satu shalat maka hendaklah ia kerjakan shalat tersebut ketika ingat.”
Sedangkan bagi perempuan yang haid atau nifas, mereka tidak berkewajiban mengganti shalatnya walaupun waktunya luas. Sedangkan puasa yang ditinggalkan olehperempuan yang haid atau nifas, wajib membayarnya pada waktu yang lain atas sejumlah waktu puasa yang ditinggalkan.
Mazhab Hanafi menyatakan, wajib qadha atas orang yang hilang akalnya karena benda yang memabukkan dan diharamkan, seperti arak. Sedangkan orang yang hilang akalnya karena pingsan atau gila, maka kewajiban qadha shalat itu menjadi gugur dengan dua syarat.
Pertama, pingsan atau gilanya berlangsung terus sampai lebih dari lima kali waktu shalat. Sedangkan kalau hanya lima kali shalat atau kurang dari itu, maka wajib qadha. Kedua, tidak sadar selama masa pingsan atau gilanya itu pada waktu shalat, kalau ia sadar dan belum shalat, maka wajib qadha atasnya.
Mazhab Maliki berpendapat; orang gila atau pingsan tidak wajib qadha. Sedangkan orang yang mabuk, apabila itu disebabkan oleh barang haram maka ia wajib qadha, dan jika disebabkan oleh barang halal, seperti minum susu asam lalu mabuk, maka tidak wajib qadha.
Mazhab Hanbali berpendapat; orang yang pingsan dan mabuk karena benda haram, wajib qadha, sedangkan orang gila tidak wajib. Mazhab Syafii menyatakan; orang gila tidak wajib qadha, apabila gilanya itu menghabiskan seluruh waktu shalat (dalam satu hari). Begitu pula orang yang pingsan dan orang yang mabuk; jika pingsan dan mabuknya itu bukan disebabkan oleh minuman keras yang diharamkan, mereka tidak wajib meng-qadha shalatnya. Kalau tidak karena persoalan tersebut, maka dia wajib mengganti shalatnya.
Sedangkan mazhab Imamiyah berpendapat; orang yang mabuk karena minuman keras yang diharamkan wajib mengganti shalarnya secara mutlak, baik ia meminumnya dengan sadar atau tidak sadar, terpaksa atau dipaksa. Sedangkan orang yang gila dan pingsan, tidak wajib qadha. Demikian penjelasan Muhammad Jawwad Mughniyah dalam Al-Fiqh ‘ala al-madzahib al-khamsah.