Selasa 26 Jun 2018 10:05 WIB

Menggunakan Kuitansi Bodong, Bolehkah?

Invoice, kuitansi, atau bon adalah tanda bukti yang tidak boleh dipalsukan.

Rep: A Syalaby Ichsan/ Red: Agung Sasongko
Petugas kepolisian memperlihatkan lembaran kuitansi sebagai barang bukti dugaan penipuan ratusan pencari kerja yang dijanjikan disalurkan ke PT Semen Jawa di Polres Sukabumi Kota, Sukabumi, Jawa Barat, Selasa (2/3) malam.
Foto: Antara/Budiyanto
Petugas kepolisian memperlihatkan lembaran kuitansi sebagai barang bukti dugaan penipuan ratusan pencari kerja yang dijanjikan disalurkan ke PT Semen Jawa di Polres Sukabumi Kota, Sukabumi, Jawa Barat, Selasa (2/3) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —Penggunaan kuitansi yang berbeda dengan nilai jualbeli atau bantuan kerap dilakukan. Bantuan dari in stansi atau departemen dengan potongan sekian persen tanpa tanda terima dianggap sebagai hal yang wajar.

Ada juga praktik tender yang menggunakan in voice atau tanda terima, tetapi tidak sesuai dengan jumlah yang dibayarkan. Selisih dari nilai tersebut digunakan sebagai fee dan uang lelah untuk oknum pe gawai penyelenggara tender.

Praktik muamalah harus dilakukan dengan cara yang halal dan thayib. Allah SWT jauh-jauh hari sudah mengingatkan kita untuk tidak memakan harta orang lain dengan jalan batil.

"Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu mem bawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat mema kan sebagian dari harta benda orang lain itu de ngan (jalan ber buat) dosa. Pa da hal, kamu me nge tahui." (QS al- Baqarah: 188).

Imam Ibnu Katsir dalam taf sirnya menjelaskan, berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas, ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang mempunyai utang sejumlah harta, sedangkan pemilik piutang tidak memiliki bukti kuat. Lelaki tersebut pun mengingkari utang nya dan mengadukan perkaranya kepada hakim.

Padahal, dia mengetahui bahwa dia berhadapan dengan perkara yang hak. Dia pun sadar berada pada pihak yang salah dan memakan harta haram. Ayat dan hadis ini menunjuk kan bahwa keputusan hakim tidak mengubah hakikat sesuatu.

Hakim hanya memutuskan berdasarkan apa yang tampak pada lahiriahnya saja. Untuk itu, apa bila keputusannya sesuai dengan hakikat permasalahan maka de mikian yang diharapkan. Jika keputusannya itu tidak sesuai, si hakim tetap mendapat pahalanya. Sementara, penanggung dosa ialah pihak yang memalsukan tanda bukti dan melakukan kecurangan dalam perkaranya.

Invoice, kuitansi, atau bon adalah tanda bukti yang tidak boleh dipalsukan. Terlebih, pemalsuan ini dilakukan untuk mendapatkan selisih dana dari hasil bantuan. Pengelabuan dalam jual-beli dan bermuamalah dilarang Allah SWT.

Saat menjelaskan QS an-Nisa ayat 29, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian."

Imam Ibnu Katsir pun menjelaskan, larangan berusaha dengan cara-cara yang batil dan tidak sesuai syariat seperti riba dan judi. Cara-cara lainnya yang masuk dalam kategori tersebut, yakni dengan menggunakan berbagai macam tipuan dan pengelabuan.

Meski cara-cara tersebut secara lahiriah diakui hukum syara'. Majelis Tarjih Muhammadiyah menegaskan, oknum yang diberi amanat untuk menyalurkan bantuan kemudian memotongnya secara tidak sah merupakan per buat an pengkhianatan terhadap amanah. Allah SWT ber firman, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (QS al-Anfal :27).

Pihak yang memotong dana atau uang bantuan dengan menggunakan kuitansi bodong pun disebut sebagai pelaku perbuatan ghulul (korupsi). "Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.

Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya." (QS Ali Imran: 161).

Penerima dana bantuan yang melaporkan atau menuliskan secara utuh seolah-olah tidak ada pemotongan padahal sudah dipotong merupakan kebohongan. Karena itu, mencantumkan nilai berbeda di kuitansi dengan nilai sebenarnya disebut merupakan tanda orang munafik.

Dalam satu hadis muttafaq 'alaih dari Abu Hurairah disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, "Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu apa bila berkata ia bohong, apa bila berjanji ia tidak menepati, apabila dipercaya ia berkhianat."

Pihak yang menerima dan menyetujui pemotongan bantuan dapat dikategorikan sebagai per sekongkolan atau secara tidak langsung memberi bantuan untuk melakukan tindakan melawan hukum Allah. Perbuatan itu dilarang agama, sebagaimana firman Allah, "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan to long-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (QS al- Maidah: 2).

Majelis Tarjih Muhammadiyah pun menjelaskan, jika pemotongan bantuan dengan kuitansi bodong adalah perbuatan mungkar yang dilarang agama. Perbuatan tersebut pun masuk dalam kategori korupsi. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan, korupsi atau ghulul sebagai sesuatu yang haram. Semua lapisan masyarakat pun berkewajiban untuk memberantas dan ti dak terlibat dalam praktik tersebut.

Menghadapi perbuatan mungkar seperti itu, Islam mengajarkan agar berusaha dan berani mencegahnya. Allah berfirman, "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang me nyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan men cegah dari yang munkar. Me rekalah orang yang beruntung." (QS Ali Imran: 104). Wallahu a'lam. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement