REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berutang memang penuh risiko. Baik risiko yang akan ditanggung oleh yang bersangkutan atau bahkan keluarga yang ditinggalkan. Misal, dalam kasus suami meninggal dunia.
Persoalan ini me mang memunculkan pertanyaan yang cu kup membingungkan sebagian kalangan. Bila almarhum suami meninggalkan utang, apakah istri wajib membayarnya?
Sebelum menjelaskan hal itu, Prof Abdul Karim Zaidan dalam bukunya yang berjudul al-Mufashal fi ahkam al-Marati menegaskan, pada dasarnya perempuan memiliki otoritas pengelolaan uang yang ia peroleh dari mata pencariannya sendiri. Ia berhak mendayagunakan apa pun sesuai dengan keinginannnya tanpa intervensi dari pihak manapun.
Ini banyak ditegaskan di sejumlah ayat dan hadis Rasulullah SAW. Salah satu hadis itu, seperti kisah Barirah yang dinukilkan Aisyah.
Berdasarkan fatwa yang pernah dikeluarkan Lembaga Fatwa (Dar al-Ifta) Mesir, istri tidak memiliki kewajiban apa pun menanggung dan memenuhi utang almarhum suaminya. Tanggungan itu tidak serta-merta berpindah ke ahli waris. Bila tak terbayar, kewajiban utang itu menjadi tanggungan almarhum yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.
Jika kasus seperti ini, sebaiknya utang tersebut ditutupi dari harta warisan almarhum suami. Karenanya, Islam menekankan agar sebelum pembagian harta waris, hendaknya utang dan wasiat didahulukan agar ditunaikan lebih dulu. Ini seperti yang ditegaskan dalam Alquran. “(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.” (QS an-Nisaa’ [4]: 11).
Kecuali, jika memang Anda, para istri, merelakan harta untuk dialokasikan menutup utang almarhum. Ini merupakan bentuk tolongmenolong dalam kewajiban. Ketentuan serupa juga berlaku dalam kasus yang berutang dan meninggal adalah pihak istri. Suami yang ditinggalkan tidak secara otomatis menanggung beban tersebut.
Lalu, timbul pertanyaan, bolehkah istri mengalokasikan zakat ataupun sedekahnya untuk membayar utang suami yang telah berpulang? Para ulama berbeda pendapat.
Menurut kelompok yang pertama, zakat mal tersebut tidak boleh diperuntukkan membayar utang-utang almarhum suami tersebut. Opsi ini adalah pilihan sejumlah mazhab, yakni Hanafi, salah satu riwayat di Mazhab Syafi’i dan Hanbali.
Dalam pandangan kalangan kedua, pengalokasian dana zakat untuk suami yang dililit utang diperbolehkan. Ini dengan catatan, selama kriteria seorang yang pailit akibat utang (gharim) terpenuhi. Pandangan ini dianut oleh Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali di salah satu riwayat.
Ibnu Taimiyah juga mengamini opsi tersebut. Imam ad-Dasuqi menambahkan, pengalokasian dana zakat hendaknya mengedepankan utang me reka yang meninggal dalam kondisi di atas dibandingkan dengan utang mereka yang masih hidup. Kelompok yang kedua beralasan sesuai de ngan ketetapan yang pernah dicontohkan Rasulullah. Rasulullah mengizinkan Zainab me nyerahkan zakat malnya untuk Abdullah bin Masud yang tak lain suaminya sendiri.
“Ada dua pahala, pahala kekerabatan dan pahala sedekah,” sabda Rasul.