REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peranan para diplomat sebagai aktor dalam hubungan internasional bukanlah barang baru dalam sejarah perpolitikan dunia. Jauh berabad-abad yang lampau, peranan semacam itu sudah diterapkan oleh sejumlah negara guna membangun komunikasi antarperadaban.
Pada zaman kuno, posisi diplomat dimainkan oleh para utusan negara atau kerajaan. Menurut catatan sejarah, kaisar Cina pada abad kedua sebelum Masehi (SM) pernah beberapa kali mengutus orang-orang kepercayaannya ke sejumlah negeri di Asia Tengah untuk melaksanakan berbagai misi diplomatik.
Penjelajah Zhang Qian yang hidup antara 200-114 SM tercatat sebagai salah satu utusan Cina yang paling masyhur pada zamannya. Beberapa negeri yang menjadi tujuan misi diplomatiknya antara lain Dayuan (Tajikistan sekarang), Daxia (Afghanistan), dan India.
Dalam perjalanannya ke Asia Tengah, Zhang Qiang sempat dipenjara oleh orang-orang Xiongnu (rumpun bangsa Mongol —Red) selama bertahun-tahun. Namun, dia akhirnya berhasil kembali lagi ke Cina dengan selamat.
Seusai melakukan kunjungan ke negeri-negeri tersebut, Zhang Qian lalu memberikan laporannya kepada Pemerintah Cina yang ketika itu berada di bawah kendali Dinasti Han. Catatan perjalanannya itu kemudian menjadi bahan masukan bagi Cina dalam menentukan kebijakan luar negeri.
Negara-negara kota (polis) di Yunani pada masa lampau, dalam beberapa kesempatan, saling mengirim utusan satu sama lain untuk menegosiasikan masalah-masalah tertentu. Seperti masalah perang, perdamaian, ataupun hubungan perdagangan. Kendati demikian, penempatan duta besar (ambassador) secara reguler di negara-negara lain—seperti yang kita jumpai hari ini—belum lagi dikenal oleh masyarakat Yunani ketika itu.
Beberapa tugas diplomatik pada zaman Yunani kuno dilakukan oleh seorang proxenos (yang secara harfiah berarti perantara). Tidak seperti duta besar yang ada sekarang, proxenos justru menjalankan fungsi sebagai wakil atau konsul bagi negara lain di negara asalnya sendiri. Jabatan semacam ini biasanya diwariskan secara turun-temurun dalam keluarga tertentu di Yunani.
Seorang proxenos akan menggunakan semua pengaruh yang dimiliki negara asalnya untuk membangun hubungan persahabatan dengan negara lain yang ia wakili. Sebagai contoh di sini adalah negarawan Athena, Cimon (510-450 SM), yang menjadi proxenos Sparta di negaranya sendiri.
“Semasa hidupnya, Cimon sangat giat menawarkan kerja sama antara Sparta dan Athena,” ungkap Donald Lateiner dan Richard Crawley dalam buku The History of the Peloponnesian War.
Menurut Encyclopaedia Britannica, di samping membangun hubungan diplomatik, seorang proxenos juga memiliki tugas sekunder layaknya intelijen, yakni mengumpulkan berbagai informasi yang berguna terkait negara yang ia wakili. Loyalitas seorang proxenos terhadap negara asalnya tetap menjadi hal yang utama. Ketika negaranya terlibat perang dengan negara yang ia wakili tersebut, proxenos harus membantu negaranya sendiri.
Pada zaman kuno, utusan raja yang dikirim ke luar negeri tidak memperoleh hak kekebalan diplomatik seperti yang diberlakukan hari ini. Hal itu diungkapkan oleh sejarawan Yunani yang hidup pada abad kelima SM, Herodotus. Dia mencatat, Raja Darius Agung dari Persia (550-486 SM) pernah mengirimkan sejumlah utusannya ke kota-kota di Yunani. Tujuannya ketika itu adalah untuk menyampaikan pesan sang raja agar kota-kota tersebut mau tunduk kepada kekuasaan Persia.
“Akan tetapi, setelah para utusan Persia itu menyampaikan titah rajanya, orang-orang Athena malah melemparkan mereka ke dalam lubang. Sementara, orang-orang Sparta melemparkan mereka ke dalam sumur,” tulis E Mathew Asu dalam buku A Comparative Study of State Immunity from Jurisdiction, Recognition and Enforcement Action.