REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Barus adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Terletak di pantai barat Sumatra, 60 kilometer di barat daya Sibolga dan sekitar 70 kilometer di timur laut kota Singkil. Barus adalah sebuah kota kecamatan yang sunyi dan terpencil sekarang ini.
Siapa sangka, Barus pada masa-masa kejayaannya sebelum abad ke-17, kota ini masyhur sebagai pelabuhan yang ramai disinggahi kapal-kapal dagang asing terutama dari Cina, India, Arab, Persia, Turki dan Portugis selama berabad-abad.
Berita atau catatan tertua mengenai Barus kita dengar dari catatan Ptolomeus, ahli geografi Yunani pada abad ke-2 M, demikian dikutip dari buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia.
Menurut Ptolomeus, kapal-kapal dari Athena telah singgah Barus sepanjang abad ke-4 dan ke-3 Sebelum Masehi (SM). Begitu pula kapal-kapal dari era Firaun di Mesir untuk membeli kapur barus atau kamfer, bahan yang diperlukan untuk membuat mumi.
Sebagai pelabuhan dagang, kota Barus baru mencapai kemakmuran pada abad ke-7 tidak lama setelah berdirinya kerajaan Sriwijaya. Sumber Cina menyebut Sriwijaya dan Barus sebagai kerajaan kembar.
Bahkan I Ching, musafir Cina yang berkunjung ke Sumatra pada abad ke-7 mengatakan bahwa kota Barus merupakan pusat penyebaran aliran Mulasarvastivada, sebuah madzab dalam Buddha Mahayana yang banyak diikuti penduduk Sriwijaya.
Tetapi pada abad ke-9 M pedagang-pedagang Arab dan Persia, kemudan Turki, mulai ramai berdatangan ke Barus untuk memperoleh emas, lada, kapur barus, dan lain-lain. Kapur dan lada yang dihasilkan di daerah ini terkenal tinggi mutunya dan merupakan bahan perniagaan penting pada masa itu.
Sudah pasti mereka tinggal agak lama di wilayah Barus, karena pelayaran ke negeri asal mereka sangat jauh dan harus menunggu musim yang baik untuk berlayar. Mereka lantas kawin mawin dengan wanita setempat atau wanita pribumi Barus. Sehingga terbentuklah komunitas Muslim yang signifikan di situ.
Sebelum nama Barus dikenal, kota ini diberi nama Fansur (Panchur) oleh orang-orang Mandailing dan Batak yang tinggal di sekitarnya. Sebelum suku-suku yang tinggal di sini memeluk agama Islam, dan kemudian Kristen, mereka itu dikenal karena kepandaiannya dalam ilmu sihir.
Dalam bahasa Mandailing atau Batak, perkataan Pancur berarti ‘mata air’ dan berdasarkan nama ini orang Arab menyebutnya Fansur.
Nama Barus diberikan kemudian oleh orang-orang Melayu yang berduyun-duyun pindah ke tempat ini dan kemudian bercampur baur dengan penduduk asal. Sehingga terbentuklah suku Mandailing yang beragama Islam. Nama Barus itu diberikan mengikuti nama sungai yang biasa dilalui oleh orang-orang Melayu untuk mencapai tempat ini.