REPUBLIKA.CO.ID, Momentum libur natal dan tahun baru (Nataru) sering dimanfaatkan oleh keluarga Muslim di Indonesia untuk pulang kampung atau liburan ke luar kota. Di dalam Islam, terdapat keringanan bagi mereka yang sedang dalam perjalanan atau lazim disebut musafir. Mereka bisa mengumpulkan shalat dalam satu waktu bahkan meringkas jumlah rakaatnya, seperti yang dipraktikkan dalam sholat jamak qashar.
Musafir merupakan istilah yang sering digunakan dalam konteks perjalanan jauh, khususnya dalam pembahasan hukum Islam. Dalam buku Fiqih Safar karya Ahmad Sarwat,Lc.MA terdapat batasan seseorang disebut musafir memiliki kriteria yang jelas menurut para ahli fiqih.
Secara bahasa, musafir berasal dari kata safar (سفر) yang berarti perjalanan atau menempuh jarak tertentu. Lawan kata dari safar adalah hadar (حضر), yaitu berada di suatu tempat tanpa melakukan perjalanan jauh.
Menurut istilah para ahli fiqih, musafir didefinisikan sebagai seseorang yang keluar dari wilayah tempat tinggalnya (wathan) menuju ke suatu tempat dengan tujuan tertentu, serta menempuh jarak yang telah ditentukan dalam pandangan ulama.
Dua syarat utama yang harus dipenuhi untuk menyebut seseorang sebagai musafir adalah, pertama yaitu keluar dari wathan (tempat tinggal).
Seseorang harus meninggalkan wilayah tempat tinggalnya untuk dapat disebut sebagai musafir. Selama seseorang masih berada di dalam rumah atau wilayah tempat tinggalnya, ia tidak bisa dianggap sebagai musafir.
Kedua, dia harus memiliki niat untuk menempuh perjalanan jauh. Selain meninggalkan tempat tinggal, seseorang juga harus memiliki niat untuk melakukan perjalanan menuju lokasi tertentu dengan jarak minimal yang telah ditentukan. Jika seseorang hanya keluar dari wilayah tempat tinggalnya tanpa niat perjalanan jauh, maka ia tidak termasuk kategori musafir.